UU LLAJ Berlaku, Infrastruktur harus Siap
APAPUN alasannya, pemerintah harus tetap memberlakukan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Penolakan Kementerian Pekerjaan Umum untuk bertanggung jawab atas kerusakan jalan karena dana pemeliharaan terbatas tak bisa jadi alasan.
Menurut UU yang berlaku sejak Juni 2009, penyelenggara jalan, yakni Kementerian PU dan dinas PU tergantung kelas jalan, yang tidak segera memperbaiki jalan rusak terancam sanksi pidana atau denda. Tidak tanggung-tanggung hukuman 6 bulan kurungan dan denda Rp120 juta menanti.
Latar belakang dari keterbatasan dana adalah karena semula ada dana preservasi untuk penyelenggaraan jalan dari pajak kendaraan dan bahan bakar untuk kendaraan. Belakangan, dana itu tak terwujud setelah berlaku Pasal 8 ayat (5) UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi yang mengatur bahwa paling sedikit 10 persen pajak atas kendaraan bermotor untuk pemeliharaan jalan atau pembangunan transportasi umum. Adapun penggunaan dana bahan bakar tak ada aturan tegas.
Penyelenggara jalan siap atau tidak siap, UU LLAJ harus tetap diberlakukan tanpa pengecualian. Kecuali pemerintah menerbitkan peraturan pengganti UU atau perppu untuk menunda pelaksanaan UU atau sebagian dari UU tersebut.
Alasannya, saat UU dirancang, dibahas, sampai disahkan sudah melewati prosedur panjang yang diikuti wakil pemerintah di bidang yang berkaitan dengan UU tersebut. Kini setelah disahkan muncul penolakan tanggung jawab, ini memperlihatkan ada keteledoran saat penyusunan hingga pengesahan UU LLAJ.
Mengherankan bagaimana bisa terjadi kekuranghati-hatian, padahal dalam proses pengesahan UU diperlukan waktu lama untuk mempelajari dan memahami semua, baik dalam konteks persiapan pranata, sarana, infrastruktur, maupun pendanaan.
Dengan demikian, sejak awal perencanaan UU, semua pihak terkait seharusnya dilibatkan. Pemerintah siap dengan anggaran perbaikan dan pengadaan infrastruktur sehingga saat UU diberlakukan tinggal menyosialisasikan kepada masyarakat.
Kini setelah sosialisasi dilakukan dan masyarakat harus menaati, sementara penyelenggara jalan belum siap dengan infrastruktur jalan, jangan sampai UU LLAJ ini sama dengan UU lainnya, dimana rakyat dijadikan obyek hukum semata. Sanksi dan denda hanya diberlakukan pada rakyat selaku pengguna jalan. Padahal UU ini berisi semangat keadilan hukum, dimana rakyat bisa melakukan gugatan pada negara melalui aparatus pemerintahan penyelenggara jalan, jika infrastruktur tidak siap dan rakyat selaku pengguna jalan dirugikan.
Salah satu kekurangsiapan infrastruktur jalan di wilayah Sulteng, masih banyak badan jalan berlobang dan trotoar di jalan perkotaan yang tidak mengakomodir kebutuhan penyandang cacat. Lalu, sampai kapan penyelenggara jalan menyiapkan infrastruktur? Ataukah menunggu terjadinya kecelakaan lalulintas, timbul korban dan pengguna jalan mengguggat?.***
Menurut UU yang berlaku sejak Juni 2009, penyelenggara jalan, yakni Kementerian PU dan dinas PU tergantung kelas jalan, yang tidak segera memperbaiki jalan rusak terancam sanksi pidana atau denda. Tidak tanggung-tanggung hukuman 6 bulan kurungan dan denda Rp120 juta menanti.
Latar belakang dari keterbatasan dana adalah karena semula ada dana preservasi untuk penyelenggaraan jalan dari pajak kendaraan dan bahan bakar untuk kendaraan. Belakangan, dana itu tak terwujud setelah berlaku Pasal 8 ayat (5) UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi yang mengatur bahwa paling sedikit 10 persen pajak atas kendaraan bermotor untuk pemeliharaan jalan atau pembangunan transportasi umum. Adapun penggunaan dana bahan bakar tak ada aturan tegas.
Penyelenggara jalan siap atau tidak siap, UU LLAJ harus tetap diberlakukan tanpa pengecualian. Kecuali pemerintah menerbitkan peraturan pengganti UU atau perppu untuk menunda pelaksanaan UU atau sebagian dari UU tersebut.
Alasannya, saat UU dirancang, dibahas, sampai disahkan sudah melewati prosedur panjang yang diikuti wakil pemerintah di bidang yang berkaitan dengan UU tersebut. Kini setelah disahkan muncul penolakan tanggung jawab, ini memperlihatkan ada keteledoran saat penyusunan hingga pengesahan UU LLAJ.
Mengherankan bagaimana bisa terjadi kekuranghati-hatian, padahal dalam proses pengesahan UU diperlukan waktu lama untuk mempelajari dan memahami semua, baik dalam konteks persiapan pranata, sarana, infrastruktur, maupun pendanaan.
Dengan demikian, sejak awal perencanaan UU, semua pihak terkait seharusnya dilibatkan. Pemerintah siap dengan anggaran perbaikan dan pengadaan infrastruktur sehingga saat UU diberlakukan tinggal menyosialisasikan kepada masyarakat.
Kini setelah sosialisasi dilakukan dan masyarakat harus menaati, sementara penyelenggara jalan belum siap dengan infrastruktur jalan, jangan sampai UU LLAJ ini sama dengan UU lainnya, dimana rakyat dijadikan obyek hukum semata. Sanksi dan denda hanya diberlakukan pada rakyat selaku pengguna jalan. Padahal UU ini berisi semangat keadilan hukum, dimana rakyat bisa melakukan gugatan pada negara melalui aparatus pemerintahan penyelenggara jalan, jika infrastruktur tidak siap dan rakyat selaku pengguna jalan dirugikan.
Salah satu kekurangsiapan infrastruktur jalan di wilayah Sulteng, masih banyak badan jalan berlobang dan trotoar di jalan perkotaan yang tidak mengakomodir kebutuhan penyandang cacat. Lalu, sampai kapan penyelenggara jalan menyiapkan infrastruktur? Ataukah menunggu terjadinya kecelakaan lalulintas, timbul korban dan pengguna jalan mengguggat?.***
Komentar
Posting Komentar