Stop Pemotongan Tunjangan Guru
LAGU Oemar Bakrie yang dilantunkan Iwan Fals kembali menyentuh realita dunia pendidikan di Palu. Komunitas ‘Oemar Bakrie’ Palu protes atas pemotongan tunjangan profesi guru. Tunjangan profesi guru tersebut sesuai Peraturan Presiden No. 108 Tahun 2007 tentang Tunjangan Profesi Guru yang berasal dari APBN.
Tunjangan profesi guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) non sertifikasi, sekira Rp3 juta, mendapat potongan dari Dinas Pendidikan (Disdik) Palu sebesar Rp450 ribu. Alasan pemotongan itu untuk Pajak Pertambahan Hasil (PPH) 15 persen.
Menurut mereka pemotongan yang mengatasnamakan PPH tidak adil, karena di daerah lain tidak terjadi. Mereka menginginkan tunjangan profesi diterima secara utuh.
Jauh hari sebelum guru-guru di Palu mengeluhkan pemotongan tunjangan profesi, Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) telah meminta Presiden melarang Dinas Pendidikan di kabupaten/kota untuk memotong tunjangan profesional guru.
PGRI menilai, pemotongan itu bisa dikategorikan pungutan liar meski dengan alasan apa pun. PGRI secara tegas mengatakan PGRI pemotongan yang dilakukan petugas di Dinas Pendidikan dan Departemen Agama tingkat kabupaten/kota tidak ada dasar hukumnya dan sudah meresahkan para guru yang menerima tunjangan tersebut.
Kasus pemotongan tunjangan profesi bukan untuk pertama kalinya terjadi. Awal tahun 2009 lalu, Kejati Sulteng pernah mendalami kasus pemotongan tunjangan profesi guru di Kota Palu yang jumlahnya mencapai Rp 1,6 miliar.
Jumlah tersebut merupakan akumulasi potongan dari tenaga pengajar yang berjumlah 4.096 orang sejak 2007 silam. Uang tunjangan setiap pengajar dipotong sebesar Rp400 ribu
Kasus tersebut terungkap berkat adanya keterangan dari beberapa guru yang mengaku tunjangannya dipotong sebesar Rp400 ribu. Tunjangan profesi yang setiap bulannya sebesar Rp 100 ribu itu dibayarkan secara rapel pada akhir tahun sebesar Rp1,2 juta. Namun, uang tunjangan tersebut hanya dibayarkan Rp800 ribu dengan alasan dananya belum turun semua, dan akan dibayarkan pada tahun anggaran selanjutnya.
Kini ketika pemotongan kembali terulang, apakah Kejati akan kembali melakukan penelusuran dan memeriksanya? Apalagi Pengurus Besar PGRI secara tegas menyatakan pemotongan itu sebagai pungutan liar, apapun alasannya, karena tidak memiliki dasar hukum.
Berlepas dari keluh kesah guru dan langkah yang akan diambil Kejati, sudah saatnya menyetop pemotongan-pemotongan tunjangan guru tanpa aturan main yang ditetapkan aturan perundang-undangan. Stop pemotongan tunjangan. Biarkan guru menikmati tunjangan yang telah lama dijanjikan pemerintah.
Kedepan, sebaiknya dilakukan penyatuan antara rekening gaji guru dan tunjangan profesi guru. Dengan cara itu birokrat di daerah tidak bisa lagi pemotongan. ***
Tunjangan profesi guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) non sertifikasi, sekira Rp3 juta, mendapat potongan dari Dinas Pendidikan (Disdik) Palu sebesar Rp450 ribu. Alasan pemotongan itu untuk Pajak Pertambahan Hasil (PPH) 15 persen.
Menurut mereka pemotongan yang mengatasnamakan PPH tidak adil, karena di daerah lain tidak terjadi. Mereka menginginkan tunjangan profesi diterima secara utuh.
Jauh hari sebelum guru-guru di Palu mengeluhkan pemotongan tunjangan profesi, Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) telah meminta Presiden melarang Dinas Pendidikan di kabupaten/kota untuk memotong tunjangan profesional guru.
PGRI menilai, pemotongan itu bisa dikategorikan pungutan liar meski dengan alasan apa pun. PGRI secara tegas mengatakan PGRI pemotongan yang dilakukan petugas di Dinas Pendidikan dan Departemen Agama tingkat kabupaten/kota tidak ada dasar hukumnya dan sudah meresahkan para guru yang menerima tunjangan tersebut.
Kasus pemotongan tunjangan profesi bukan untuk pertama kalinya terjadi. Awal tahun 2009 lalu, Kejati Sulteng pernah mendalami kasus pemotongan tunjangan profesi guru di Kota Palu yang jumlahnya mencapai Rp 1,6 miliar.
Jumlah tersebut merupakan akumulasi potongan dari tenaga pengajar yang berjumlah 4.096 orang sejak 2007 silam. Uang tunjangan setiap pengajar dipotong sebesar Rp400 ribu
Kasus tersebut terungkap berkat adanya keterangan dari beberapa guru yang mengaku tunjangannya dipotong sebesar Rp400 ribu. Tunjangan profesi yang setiap bulannya sebesar Rp 100 ribu itu dibayarkan secara rapel pada akhir tahun sebesar Rp1,2 juta. Namun, uang tunjangan tersebut hanya dibayarkan Rp800 ribu dengan alasan dananya belum turun semua, dan akan dibayarkan pada tahun anggaran selanjutnya.
Kini ketika pemotongan kembali terulang, apakah Kejati akan kembali melakukan penelusuran dan memeriksanya? Apalagi Pengurus Besar PGRI secara tegas menyatakan pemotongan itu sebagai pungutan liar, apapun alasannya, karena tidak memiliki dasar hukum.
Berlepas dari keluh kesah guru dan langkah yang akan diambil Kejati, sudah saatnya menyetop pemotongan-pemotongan tunjangan guru tanpa aturan main yang ditetapkan aturan perundang-undangan. Stop pemotongan tunjangan. Biarkan guru menikmati tunjangan yang telah lama dijanjikan pemerintah.
Kedepan, sebaiknya dilakukan penyatuan antara rekening gaji guru dan tunjangan profesi guru. Dengan cara itu birokrat di daerah tidak bisa lagi pemotongan. ***
Komentar
Posting Komentar