Kredit Macet PT Bank Sulteng, PR bagi Deprov
KREDIT macet pada PT Bank Sulteng kembali mencuat. Komisi II DPRD Provinsi (Deprov) mempersoalkan belum kelarnya masalah tersebut, sejak pencopotan Komisaris Utama HN Bidja dan Direktur Utama Judson Renonto pertengahan Juni 2009 lalu dalam rapat koordinasi, Kamis (18/2).
Kredit macet yang menerpa PT Bank Sulteng bukan kali ini dipermasalahkan. Sebelumnya Deprov masa bhakti 2004-2009 juga bersuara keras soal kredit macet yang berbuntut pada restrukturisasi manajemen PT Bank Sulteng. Bahkan saat itu sempat diusulkan agar Deprov menggunakan hak interpelasi, menyikapi kredit macet dan pencopotan Komisaris Utama HN Bidja dan Direktur Utama Judson Renonto.
Penggunaan hak interpelasi menguat karena Deprov merasa Gubernur HB Palidju telah melanggar ketentuan UU Perbankan dan Akta Pendirian PT Bank Sulteng, saat mencopot HN Bidja dan Judson Renonto yang dinilai gagal mengatasi kredit macet PT Bank Sulteng. Langkah berani Deprov ‘menyerang’ Gubernur, tidak selesai hingga akhir masa bhakti. Ketua Deprov saat itu Murad U. Nasir menyatakan, akan merekomendasikan masalah kredit macet dan pencopotan HN Bidja dan Judson ke Deprov masa bhakti 2009-2014. masalah ini menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi Deprov saat ini.
Menelusuri catatan Mercusuar, Judson Renonto pernah membuat pernyataan, bahwa pemecatan dirinya bukan karena kredit macet, melainkan banyak orang yang tidak suka dirinya di PT Bank Sulteng.
Berdasarkan laporan tahunan PT Bank Sulteng 2008 yang dipaparkan mantan Komisaris Utama HN Bidja di Deprov medio Juni 2009, sekitar bulan September kredit macet mencapai Rp50 miliar. Oktober 2008, manajemen menghentikan pengucuran kredit untuk mencegah pembengkakan kredit macet. Kebijakan menghentikan kredit berakhir bulan Februari 2009. Selang Oktober 2008-Februari 2009, manajemen fokus pada pengembalian kredit macet dan hasilnya per 31 Desember 2008, kredit macet tinggal Rp37,5 miliar.
Pada rapat umum pemegang saham (RUPS) tanggal 11 Juni 2009, Direksi menyampaikan laporan keuangan Bank Sulteng yang telah diaudit kantor Akuntan Publik Husni, Mucharam & Rasyidi dengan opini wajar tanpa syarat dan Komisaris Utama menyampaikan Laporan Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas-tugas Direksi selama tahun 2008.
Laporan direksi maupun laporan dewan komisaris mengungkapkan modal disetor bank pada per 31 Desember 2008 mencapai Rp103 miliar sedangkan laba sebelum pajak tahun 2008 berjumlah Rp32,3 miliar. Dibandingkan tahun 2007 dengan laba Rp17,2 miliar terdapat kenaikan 88,15 persen.
Menyikapi perkembangan PT Bank sulteng 2008, Bank Indonesia memberikan penilaian ‘sehat’ dari tahun-tahun sebelumnya, dimana PT Bank Sulteng hanya masuk predikat ‘cukup sehat’. Penilaian Bank Indonesia ini didasarkan pada standar kesehatan perbankan yang meliputi penilaian aspek permodalan, kualitas aset, manajemen, laba yang diperoleh, likuiditas dan kepekaan terhadap risiko pasar.
Dalam laporan ke-uangan triwulan I 2009, d total laba triwulan I 2009 bersumber dari laba sebelum pajak Rp10,42 miliar. Namun setelah dipotong taksiran pajak Rp3,11 miliar, perolehan laba bersih PT Bank Sulteng mencapai Rp7,31 miliar. Saldo laba awal tahun sendiri mencapai Rp44,50 miliar.
Dibanding periode yang sama tahun lalu, terjadi peningkatan laba sebelum pajak dari Rp9,39 miliar menjadi Rp10,42 miliar. Artinya laba PT Bank Sulteng tumbuh posistif.
Aktiva bank milik pemerintah daerah ini juga berhasil mencapai Rp1,08 triliun, meningkat signifikan dibanding tahun lalu Rp857 miliar. Separuh dari aktiva tersebut dalam bentuk kredit sebesar Rp509 miliar, serta Rp467 miliar ditempatkan di Bank Indonesia dalam bentuk sertifikat, giro dan produk Bank Indonesia lainnya.
BUNGKAM
Meski bekali-kali beberapa anggota Komisi II menanyakan kredit macet dalam rapat (18/2), tidak ada jawaban sama sekali dari PT Bank Sulteng yang diwakili Plt Direktur Utama Muliati. PT Bank Sulteng sepertinya tidak ingin kasus kredit macet kembali diperbincangkan. Sikap itu tentu aneh, mengingat modal yang dikelola PT Bank Sulteng bersumber dari APBD provinsi dan kabupaten/kota, modal yang diambil dari uang rakyat Sulteng.
Keanehan selanjutnya, berdasar pengakuan HN Bidja di depan Deprov medio Juni 2009, kredit macet terbesar terjadi di PT Bank Sulteng Cabang Utama Palu. Meski tidak membuka secara transparan atas dasar UU Perbankan, saat itu HN Bidja juga sempat meminta Deprov menelusuri, kenapa kredit macet terjadi di cabang utama yang dipimpin kerabat dekat Gubernur.
Sikap Deprov kembali mempertanyakan kredit macet sudah pada tempatnya, berdasarkan fungsi pengawasan yang dimilikinya. Lebih dari itu, jika masalah ini tidak terselesaikan, maka rakyat Sulteng yang paling dirugikan. Apalagi berdasarkan laporan tahunan 2008, selain kategori kredit macet masih ada kredit lain yang dikategorikan bermasalah. Per 31 Desember 2008, kredit dalam kategori mendapatkan perhatian khusus mencapai Rp31,4 miliar, kredit kurang lancar Rp4,9 miliar dan kredit kategori diragukan Rp3,7 miliar. Meski bukan kredit macet, namun kredit dengan kategori seperti itu, pada dasarnya menunjukkan, ada permasalahan dengan kredit yang telah dikucurkan. Kredit dikatakan tidak bermasalah, jika kredit tersebut dikategorikan lancar. Pertanyaanya selanjutnya, akankah upaya Deprov kembali membongkar kredit macet PT Bank Sulteng sekadar skenario politik atau upaya serius membawa penyelesaian ke ranah hukum?.***
DATA KREDIT PT BANK SULTENG
KREDIT 2008 2007
Lancar 428.953.599.821 341.782.006.135
Dalam Perhatian Khusus 31.422.621.038 27.094.178.572
Kurang Lancar 4.873.016.758 3.397.021.437
Diragukan 3.694.153.719 3.952.204.990
Macet 37.466.393.224 34.146.858.278
Sub Total 506.409.784.560 410.372.269.412
Penyisihan Kerugian (37.437.935.182) (25.334.538.175)
Total Kredit 468.971.849.378 385.037.731.237
Sumber: Annual Report PT Bank Sulteng 2008
Kredit macet yang menerpa PT Bank Sulteng bukan kali ini dipermasalahkan. Sebelumnya Deprov masa bhakti 2004-2009 juga bersuara keras soal kredit macet yang berbuntut pada restrukturisasi manajemen PT Bank Sulteng. Bahkan saat itu sempat diusulkan agar Deprov menggunakan hak interpelasi, menyikapi kredit macet dan pencopotan Komisaris Utama HN Bidja dan Direktur Utama Judson Renonto.
Penggunaan hak interpelasi menguat karena Deprov merasa Gubernur HB Palidju telah melanggar ketentuan UU Perbankan dan Akta Pendirian PT Bank Sulteng, saat mencopot HN Bidja dan Judson Renonto yang dinilai gagal mengatasi kredit macet PT Bank Sulteng. Langkah berani Deprov ‘menyerang’ Gubernur, tidak selesai hingga akhir masa bhakti. Ketua Deprov saat itu Murad U. Nasir menyatakan, akan merekomendasikan masalah kredit macet dan pencopotan HN Bidja dan Judson ke Deprov masa bhakti 2009-2014. masalah ini menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi Deprov saat ini.
Menelusuri catatan Mercusuar, Judson Renonto pernah membuat pernyataan, bahwa pemecatan dirinya bukan karena kredit macet, melainkan banyak orang yang tidak suka dirinya di PT Bank Sulteng.
Berdasarkan laporan tahunan PT Bank Sulteng 2008 yang dipaparkan mantan Komisaris Utama HN Bidja di Deprov medio Juni 2009, sekitar bulan September kredit macet mencapai Rp50 miliar. Oktober 2008, manajemen menghentikan pengucuran kredit untuk mencegah pembengkakan kredit macet. Kebijakan menghentikan kredit berakhir bulan Februari 2009. Selang Oktober 2008-Februari 2009, manajemen fokus pada pengembalian kredit macet dan hasilnya per 31 Desember 2008, kredit macet tinggal Rp37,5 miliar.
Pada rapat umum pemegang saham (RUPS) tanggal 11 Juni 2009, Direksi menyampaikan laporan keuangan Bank Sulteng yang telah diaudit kantor Akuntan Publik Husni, Mucharam & Rasyidi dengan opini wajar tanpa syarat dan Komisaris Utama menyampaikan Laporan Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas-tugas Direksi selama tahun 2008.
Laporan direksi maupun laporan dewan komisaris mengungkapkan modal disetor bank pada per 31 Desember 2008 mencapai Rp103 miliar sedangkan laba sebelum pajak tahun 2008 berjumlah Rp32,3 miliar. Dibandingkan tahun 2007 dengan laba Rp17,2 miliar terdapat kenaikan 88,15 persen.
Menyikapi perkembangan PT Bank sulteng 2008, Bank Indonesia memberikan penilaian ‘sehat’ dari tahun-tahun sebelumnya, dimana PT Bank Sulteng hanya masuk predikat ‘cukup sehat’. Penilaian Bank Indonesia ini didasarkan pada standar kesehatan perbankan yang meliputi penilaian aspek permodalan, kualitas aset, manajemen, laba yang diperoleh, likuiditas dan kepekaan terhadap risiko pasar.
Dalam laporan ke-uangan triwulan I 2009, d total laba triwulan I 2009 bersumber dari laba sebelum pajak Rp10,42 miliar. Namun setelah dipotong taksiran pajak Rp3,11 miliar, perolehan laba bersih PT Bank Sulteng mencapai Rp7,31 miliar. Saldo laba awal tahun sendiri mencapai Rp44,50 miliar.
Dibanding periode yang sama tahun lalu, terjadi peningkatan laba sebelum pajak dari Rp9,39 miliar menjadi Rp10,42 miliar. Artinya laba PT Bank Sulteng tumbuh posistif.
Aktiva bank milik pemerintah daerah ini juga berhasil mencapai Rp1,08 triliun, meningkat signifikan dibanding tahun lalu Rp857 miliar. Separuh dari aktiva tersebut dalam bentuk kredit sebesar Rp509 miliar, serta Rp467 miliar ditempatkan di Bank Indonesia dalam bentuk sertifikat, giro dan produk Bank Indonesia lainnya.
BUNGKAM
Meski bekali-kali beberapa anggota Komisi II menanyakan kredit macet dalam rapat (18/2), tidak ada jawaban sama sekali dari PT Bank Sulteng yang diwakili Plt Direktur Utama Muliati. PT Bank Sulteng sepertinya tidak ingin kasus kredit macet kembali diperbincangkan. Sikap itu tentu aneh, mengingat modal yang dikelola PT Bank Sulteng bersumber dari APBD provinsi dan kabupaten/kota, modal yang diambil dari uang rakyat Sulteng.
Keanehan selanjutnya, berdasar pengakuan HN Bidja di depan Deprov medio Juni 2009, kredit macet terbesar terjadi di PT Bank Sulteng Cabang Utama Palu. Meski tidak membuka secara transparan atas dasar UU Perbankan, saat itu HN Bidja juga sempat meminta Deprov menelusuri, kenapa kredit macet terjadi di cabang utama yang dipimpin kerabat dekat Gubernur.
Sikap Deprov kembali mempertanyakan kredit macet sudah pada tempatnya, berdasarkan fungsi pengawasan yang dimilikinya. Lebih dari itu, jika masalah ini tidak terselesaikan, maka rakyat Sulteng yang paling dirugikan. Apalagi berdasarkan laporan tahunan 2008, selain kategori kredit macet masih ada kredit lain yang dikategorikan bermasalah. Per 31 Desember 2008, kredit dalam kategori mendapatkan perhatian khusus mencapai Rp31,4 miliar, kredit kurang lancar Rp4,9 miliar dan kredit kategori diragukan Rp3,7 miliar. Meski bukan kredit macet, namun kredit dengan kategori seperti itu, pada dasarnya menunjukkan, ada permasalahan dengan kredit yang telah dikucurkan. Kredit dikatakan tidak bermasalah, jika kredit tersebut dikategorikan lancar. Pertanyaanya selanjutnya, akankah upaya Deprov kembali membongkar kredit macet PT Bank Sulteng sekadar skenario politik atau upaya serius membawa penyelesaian ke ranah hukum?.***
DATA KREDIT PT BANK SULTENG
KREDIT 2008 2007
Lancar 428.953.599.821 341.782.006.135
Dalam Perhatian Khusus 31.422.621.038 27.094.178.572
Kurang Lancar 4.873.016.758 3.397.021.437
Diragukan 3.694.153.719 3.952.204.990
Macet 37.466.393.224 34.146.858.278
Sub Total 506.409.784.560 410.372.269.412
Penyisihan Kerugian (37.437.935.182) (25.334.538.175)
Total Kredit 468.971.849.378 385.037.731.237
Sumber: Annual Report PT Bank Sulteng 2008
Komentar
Posting Komentar