Inpres No. 7/2008, Program Percepatan yang Berjalan Lamban
Program percepatan pembangunan Sultengn yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 7/2008, akhir 2010 akan berakhir. Meski demikian, program tersebut belum sepenuhnya dirasakan masyarakat, karena berjalan lamban.
Program percepatan ini dari awal terlihat lamban. Bagaimana tidak? Program yang dimulai dari 2007, Inpresnya dikeluarkan pada bulan April 2008, saat Presiden SBY berkunjung ke Sulteng. Walhasil, beberapa kegiatan, tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Berdasarkan catatan Mercusuar, bukan saja Inpres yang terlambat terbit. Kucuran dana ke Sulteng seperti kran terumbat. Usulan dana program percepatan ke Menko Kesra Rp3 triliun, hingga kini belum sepenuhnya cair. Malah masih jauh dari Rp1 triliun.
Fakta yang berhasil direkam Mercusuar, hingga November 2009, kegiatan yang telah berjalan dari program percepatan adalah pemberdayaan pemuda potensial eks daerah konflik Poso, senilai Rp1,5 miliar, peningkatan kalan poros Palolo-Napu-Sangginora Rp22,5 miliar.
Sementara kegiatan yang telah cair dananya dan belum berjalan adalah pembukaan jalan baru poros Palu-Parigi dengan anggaran Rp50 miliar, Bandara Ampana Rp3 miliar dan Bandara Morowali Rp3 miliar.
Anggaran pembukaan jalan Palu-Parigi anggarannya telah cair pada bulan Desember 2008 dan ditampung di Kas Daerah. Sedangkan pencairan anggaran untuk Bandara Ampana dikemukakan Bupati Touna Damsik Ladjalani, dalam rapat Kerja (Raker) Gubernur dengan Bupati/Walikota Se Sulteng di Swiss-Belhotel beberapa waktu lalu.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Sulteng Noer Mallo, Senin (9/11) mengakui, salah satu masalah hingga jalan Palu-Parigi belum dibuka adalah pembebasan lahan, yang menjadi kewenangan Pemerintah Kota (Pemkot) Palu serta Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Parmout.
Namun, melihat waktu yang terus berjalan, sementara proyek tersebut harus selesai 2010, Mallo mengatakan, pihaknya kembali mengambil tindakan memindahkan titik nol pembangunan ke lokasi STQ Jabal Nur.
Pemindahan titik nol tersebut kata Mallo juga sekaitan dengan persiapan infrastruktur jelang pelaksanaan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-XVI yang dipusatkan di Palu pada Juni 2010.
Pemindahan titik nol ini sudah merupakan kali kesekian setelah sebelumnya di Kelurahan Mamboro. Menurut Mallo lokasi dari STQ ke terminal Mamboro cukup strategis karena juga melalui Markas Polda Sulteng dan Universitas Tadulako.
Sementara itu, dalam waktu dekat, pihaknya juga akan segera menggelar tender tahap I agar proyek tersebut sudah bisa dikerjakan. Ia khawatir, jika lama dikerjakan, dana dari pusat yang besar itu bakal mubazir dan harus dikembalikan ke pusat karena sampai tenggat waktu ditentukan, belum juga direalisasikan.
Terpisah, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Palu Dharma Gunawan mengatakan, Pemkot Palu telah menuntaskan kewajibannya soal pembangunan ruas Palu-Poboya. Pada tahun 2008, Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Palu telah selesai menyusun Design Engineering Design (DED) dan visibility study alias studi kelayakan ruas Palu-Poboya.
Pernyataan Mallo akan segera melakukan tender patut dikritisi. Pasalnya perubahan titik nol, akan merubah sebagian besar DED dan visibility study yang telah dibuat tahun 2008. Perubahan titik nol berimplikasi pada perubahan jalur jalan yang berbeda topografi, panjang dan sosial budaya masyarakat sekitar jalur jalan. Pertanyaan selanjutnya, sudahkan ada DED baru dan telah diasistensi ke Menko Kesra? Jika sudah, maka dengan sisa waktu satu bulan sebelum tutup buku, mungkinkah tender bisa dilakukan?
Lambannya realisasi kegiatan program percepatan, dari awal telah mendapatkan kritik dan perhatian DPRD Provinsi (Deprov) Sulteng. Sekretaris Komisi III Deprov 2004-2009 Firman Maranua dalam sebuah kesempatan (4/3/2008) menyatakan, lambannya proses percepatan pembangunan menunjukan masih lemahnya sumberdaya manusia di masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), yang terkait dengan program dimaksud.
Lambannya program percepatan pembangunan seakan-akan juga menegasikan kerja keras Gubernur HB Paliudju, yang melakukan lobi ke Menko Kesra dan dua puluh kementerian lain. Sekitar Bulan Maret-April 2008 Gubernur mengawal pelolosan program percepatan dengan presentase di hadapan Menko Kesra dan terakhir di depan Presiden. Gubernur juga melakukan connecting programe dengan dua puluh kementerian.
Kini, menjelang berakhirnya program percepatan, Gubernur harus segera melakukan evaluasi dan koreksi mendasar pada seluruh ‘anak buahnya’ dan SKPD terkait, mengapa program percepatan pembangunan Sulteng ‘kurang cepat, sebagaimana harapan semula. Atas dasar evaluasi tersebut, Gubernur mengambil langkah tertentu, hingga program percepatan pembangunan dapat berjalan sebagaimana mestinya dan hjasilnya dirasakan langsung rakyat Sulteng. ***
Program percepatan ini dari awal terlihat lamban. Bagaimana tidak? Program yang dimulai dari 2007, Inpresnya dikeluarkan pada bulan April 2008, saat Presiden SBY berkunjung ke Sulteng. Walhasil, beberapa kegiatan, tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Berdasarkan catatan Mercusuar, bukan saja Inpres yang terlambat terbit. Kucuran dana ke Sulteng seperti kran terumbat. Usulan dana program percepatan ke Menko Kesra Rp3 triliun, hingga kini belum sepenuhnya cair. Malah masih jauh dari Rp1 triliun.
Fakta yang berhasil direkam Mercusuar, hingga November 2009, kegiatan yang telah berjalan dari program percepatan adalah pemberdayaan pemuda potensial eks daerah konflik Poso, senilai Rp1,5 miliar, peningkatan kalan poros Palolo-Napu-Sangginora Rp22,5 miliar.
Sementara kegiatan yang telah cair dananya dan belum berjalan adalah pembukaan jalan baru poros Palu-Parigi dengan anggaran Rp50 miliar, Bandara Ampana Rp3 miliar dan Bandara Morowali Rp3 miliar.
Anggaran pembukaan jalan Palu-Parigi anggarannya telah cair pada bulan Desember 2008 dan ditampung di Kas Daerah. Sedangkan pencairan anggaran untuk Bandara Ampana dikemukakan Bupati Touna Damsik Ladjalani, dalam rapat Kerja (Raker) Gubernur dengan Bupati/Walikota Se Sulteng di Swiss-Belhotel beberapa waktu lalu.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Sulteng Noer Mallo, Senin (9/11) mengakui, salah satu masalah hingga jalan Palu-Parigi belum dibuka adalah pembebasan lahan, yang menjadi kewenangan Pemerintah Kota (Pemkot) Palu serta Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Parmout.
Namun, melihat waktu yang terus berjalan, sementara proyek tersebut harus selesai 2010, Mallo mengatakan, pihaknya kembali mengambil tindakan memindahkan titik nol pembangunan ke lokasi STQ Jabal Nur.
Pemindahan titik nol tersebut kata Mallo juga sekaitan dengan persiapan infrastruktur jelang pelaksanaan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-XVI yang dipusatkan di Palu pada Juni 2010.
Pemindahan titik nol ini sudah merupakan kali kesekian setelah sebelumnya di Kelurahan Mamboro. Menurut Mallo lokasi dari STQ ke terminal Mamboro cukup strategis karena juga melalui Markas Polda Sulteng dan Universitas Tadulako.
Sementara itu, dalam waktu dekat, pihaknya juga akan segera menggelar tender tahap I agar proyek tersebut sudah bisa dikerjakan. Ia khawatir, jika lama dikerjakan, dana dari pusat yang besar itu bakal mubazir dan harus dikembalikan ke pusat karena sampai tenggat waktu ditentukan, belum juga direalisasikan.
Terpisah, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Palu Dharma Gunawan mengatakan, Pemkot Palu telah menuntaskan kewajibannya soal pembangunan ruas Palu-Poboya. Pada tahun 2008, Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Palu telah selesai menyusun Design Engineering Design (DED) dan visibility study alias studi kelayakan ruas Palu-Poboya.
Pernyataan Mallo akan segera melakukan tender patut dikritisi. Pasalnya perubahan titik nol, akan merubah sebagian besar DED dan visibility study yang telah dibuat tahun 2008. Perubahan titik nol berimplikasi pada perubahan jalur jalan yang berbeda topografi, panjang dan sosial budaya masyarakat sekitar jalur jalan. Pertanyaan selanjutnya, sudahkan ada DED baru dan telah diasistensi ke Menko Kesra? Jika sudah, maka dengan sisa waktu satu bulan sebelum tutup buku, mungkinkah tender bisa dilakukan?
Lambannya realisasi kegiatan program percepatan, dari awal telah mendapatkan kritik dan perhatian DPRD Provinsi (Deprov) Sulteng. Sekretaris Komisi III Deprov 2004-2009 Firman Maranua dalam sebuah kesempatan (4/3/2008) menyatakan, lambannya proses percepatan pembangunan menunjukan masih lemahnya sumberdaya manusia di masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), yang terkait dengan program dimaksud.
Lambannya program percepatan pembangunan seakan-akan juga menegasikan kerja keras Gubernur HB Paliudju, yang melakukan lobi ke Menko Kesra dan dua puluh kementerian lain. Sekitar Bulan Maret-April 2008 Gubernur mengawal pelolosan program percepatan dengan presentase di hadapan Menko Kesra dan terakhir di depan Presiden. Gubernur juga melakukan connecting programe dengan dua puluh kementerian.
Kini, menjelang berakhirnya program percepatan, Gubernur harus segera melakukan evaluasi dan koreksi mendasar pada seluruh ‘anak buahnya’ dan SKPD terkait, mengapa program percepatan pembangunan Sulteng ‘kurang cepat, sebagaimana harapan semula. Atas dasar evaluasi tersebut, Gubernur mengambil langkah tertentu, hingga program percepatan pembangunan dapat berjalan sebagaimana mestinya dan hjasilnya dirasakan langsung rakyat Sulteng. ***
Komentar
Posting Komentar