Babak Baru Pencopotan Sekdaprov
PEMBEBASTUGASAN Gumyadi dari jabatan Sekdaprov memasuki babak baru. Tim klarifikasi yang dibentuk DPRD Provinsi (Deprov) Sulteng, mendapatkan penjelasan langsung dari Sekjend Depdagri, Kawat Mendagri Nomor 800/1498/SJ tanggal 1 Mei 2009, benar.
Keterangan Sekjend Mendagri tersebut mementahkan penjelasan Karo Hukum Setdaprov Kasman Lassa, tidak pernah mengirim kawat pembatalan serah terima jabatan (Sertijab) Sekdaprov Gumyadi dan penunjukan asisten I Baharudin HT selaku Plt Sekdaprov. Penjelasan Kasman didasarkan pada hasil konfirmsi ke Sekretaris Pribadi (Sespri) Mendagri.
Mendapatkan keterangan Sekjend Depdagri, Deprov kembali buka suara. Sekretaris Fraksi PDIP Muharram Nurdin, tetap pada pandangan semula dan bersikukuh, Gubernur melanggar ketentuan Pasal 122 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan Sekdaprov diangkat dan diberhentikan Presiden berdasarkan usulan Gubernur.
Gubernur dalam UU tersebut sama sekali tidak memiliki kewenangan memperhentikan Sekdaprov. Gubernur hanya memiliki hak mengajukan usul pemberhentian Sekdaprov dan mengusulkan calon Sekdaprov baru.
Surat Perintah (SP) Gubernur Nomor X.123.42/YA/XJ tanggal 30 April 2009, yang membebastugaskan Gumyadi untuk memasuki masa persiapan pensiun (MPP) dinilai telah melampaui kewenangan Presiden. Gubernur juga dinilai melanggar Pergub Nomor 8 Tahun 2007 tentang batas usia pensiun PNS. Gumyadi saat ini tengah memasuki perpanjangan masa jabatan kedua. Bahkan dalam PP Nomor 65 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 Tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, usia pejabat struktural eselon I bisa mencapai 62 tahun.
Sedikit berbeda dengan Muharram, Wakil Ketua Deprov Haelani Umar yang menjadi ketua Tim Klarifikasi, menyarankan Gubernur dan Sekdaprov Gumyadi duduk satu meja untuk mencari jalan keluar atas polemik yang terjadi. Kedua pejabat tersebut diminta akur dan lebih mengedepankan kepentingan daerah, diatas kepentingan lain. Jika polemik berkepanjangan, Haelani mengkhawatirkan tugas-tugas pokok pemerintahan yang harus dijalankan Gubernur dan Sekdaprov terganggu.
Saran Haelani ada benarnya. Sekadar contoh, rapat paripurna Deprov (6/1) dengan agenda pembahasan beberapa proyek bermasalah ditunda. Penundaan diakibatkan tak seorangpun pejabat eksekutif hadir. Ketidakhadiran pejabat eksekutif dikarenakan distibusi surat menyurat yang menjadi salah satu tugas Sekdaprov, tidak berjalan.
Wacana lain yang berhasil dihimpun di Deprov, beberapa legislator menyarankan agar Gubernur mematuhi aturan perundang-undangan yang ada dengan menunggu Keputusan Presiden soal penggantian Sekdaprov. Hal itu sejalan dengan telah dilayangkannya surat usulan calon pengganti Gumyadi selaku Sekdaprov ke Presiden. Langkah tersebut dinilai dapat menjadi jalan keluar dari polemik yang ada.
Sementara Gubernur HB Paliudju bersikukuh dengan sikapnya mencopot Gumyadi. Gubernur bahkan beda persepsi soal aturan pensiun PNS dan pemberhentian Sekdaprov dengan Mendagri. Pertemuan Gubernur dan Mendagri tidak menghasilkan point penting penyelesaian polemik Sekdaprov. Walhasil secara de jure Gumyadi tetap Sekdaprov dan secara de facto, Baharudin HT sebagai Plt Sekdaprov.
BELAJAR DARI TOLITOLI
Dari kacamata hukum dan pemerintahan, polemik Gubernur dan Gumyadi mirip kasus Sekdakab Tolitoli Amiruddin H. Nua yang dicopot Bupati Ma’ruf Bantilan. Amiruddin menilai pencopotan dirinya keliru, berdasarkan aturan perundang-undangan yang ada. Bupati hanya berhak mengusulkan calon Sekdakab ke Gubernur.
Merasa diberlakukan tidak benar, Amiruddin mem–PTUN-kan Bupati dan meminta keadilan pada Gubernur. Akhirnya Bupati kalah dan Gubernur kembali mengukuhkan Amiruddin sebagai Sekdakab Tolitoli. Kini Amiruddin kembali bertugas dan Bupati Ma’ruf Bantilan tidak memperbesar masalah. Bisa jadi keduanya memiliki wawasan yang sama, bersama menunaikan tugas untuk kemajuan daerah dan kepentingan rakyat Tolitoli.
Belajar dari Tolitoli, sangat arif jika Gubernur dan Sekdaprov mencari jalan keluar bersama dan tidak gontok-gontokan soal aturan. Selaku PNS yang baik, Gumyadi hendaknya menyiapkan penggantinya untuk proses regenerasi dan kaderisasi. Apatah lagi selaku Sekdaprov ia memegang pucuk pimpinan Badan Pertimbangan jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat). Pun demikian Gubernur, sekiranya sedikit bersabar menunggu keputusan Presiden memberhentikan Sekdaprov Gumyadi dan mengangkat pejabat baru. Kini semuanya kembali pada kedua pejabat bersangkutan.***
Keterangan Sekjend Mendagri tersebut mementahkan penjelasan Karo Hukum Setdaprov Kasman Lassa, tidak pernah mengirim kawat pembatalan serah terima jabatan (Sertijab) Sekdaprov Gumyadi dan penunjukan asisten I Baharudin HT selaku Plt Sekdaprov. Penjelasan Kasman didasarkan pada hasil konfirmsi ke Sekretaris Pribadi (Sespri) Mendagri.
Mendapatkan keterangan Sekjend Depdagri, Deprov kembali buka suara. Sekretaris Fraksi PDIP Muharram Nurdin, tetap pada pandangan semula dan bersikukuh, Gubernur melanggar ketentuan Pasal 122 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan Sekdaprov diangkat dan diberhentikan Presiden berdasarkan usulan Gubernur.
Gubernur dalam UU tersebut sama sekali tidak memiliki kewenangan memperhentikan Sekdaprov. Gubernur hanya memiliki hak mengajukan usul pemberhentian Sekdaprov dan mengusulkan calon Sekdaprov baru.
Surat Perintah (SP) Gubernur Nomor X.123.42/YA/XJ tanggal 30 April 2009, yang membebastugaskan Gumyadi untuk memasuki masa persiapan pensiun (MPP) dinilai telah melampaui kewenangan Presiden. Gubernur juga dinilai melanggar Pergub Nomor 8 Tahun 2007 tentang batas usia pensiun PNS. Gumyadi saat ini tengah memasuki perpanjangan masa jabatan kedua. Bahkan dalam PP Nomor 65 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 Tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, usia pejabat struktural eselon I bisa mencapai 62 tahun.
Sedikit berbeda dengan Muharram, Wakil Ketua Deprov Haelani Umar yang menjadi ketua Tim Klarifikasi, menyarankan Gubernur dan Sekdaprov Gumyadi duduk satu meja untuk mencari jalan keluar atas polemik yang terjadi. Kedua pejabat tersebut diminta akur dan lebih mengedepankan kepentingan daerah, diatas kepentingan lain. Jika polemik berkepanjangan, Haelani mengkhawatirkan tugas-tugas pokok pemerintahan yang harus dijalankan Gubernur dan Sekdaprov terganggu.
Saran Haelani ada benarnya. Sekadar contoh, rapat paripurna Deprov (6/1) dengan agenda pembahasan beberapa proyek bermasalah ditunda. Penundaan diakibatkan tak seorangpun pejabat eksekutif hadir. Ketidakhadiran pejabat eksekutif dikarenakan distibusi surat menyurat yang menjadi salah satu tugas Sekdaprov, tidak berjalan.
Wacana lain yang berhasil dihimpun di Deprov, beberapa legislator menyarankan agar Gubernur mematuhi aturan perundang-undangan yang ada dengan menunggu Keputusan Presiden soal penggantian Sekdaprov. Hal itu sejalan dengan telah dilayangkannya surat usulan calon pengganti Gumyadi selaku Sekdaprov ke Presiden. Langkah tersebut dinilai dapat menjadi jalan keluar dari polemik yang ada.
Sementara Gubernur HB Paliudju bersikukuh dengan sikapnya mencopot Gumyadi. Gubernur bahkan beda persepsi soal aturan pensiun PNS dan pemberhentian Sekdaprov dengan Mendagri. Pertemuan Gubernur dan Mendagri tidak menghasilkan point penting penyelesaian polemik Sekdaprov. Walhasil secara de jure Gumyadi tetap Sekdaprov dan secara de facto, Baharudin HT sebagai Plt Sekdaprov.
BELAJAR DARI TOLITOLI
Dari kacamata hukum dan pemerintahan, polemik Gubernur dan Gumyadi mirip kasus Sekdakab Tolitoli Amiruddin H. Nua yang dicopot Bupati Ma’ruf Bantilan. Amiruddin menilai pencopotan dirinya keliru, berdasarkan aturan perundang-undangan yang ada. Bupati hanya berhak mengusulkan calon Sekdakab ke Gubernur.
Merasa diberlakukan tidak benar, Amiruddin mem–PTUN-kan Bupati dan meminta keadilan pada Gubernur. Akhirnya Bupati kalah dan Gubernur kembali mengukuhkan Amiruddin sebagai Sekdakab Tolitoli. Kini Amiruddin kembali bertugas dan Bupati Ma’ruf Bantilan tidak memperbesar masalah. Bisa jadi keduanya memiliki wawasan yang sama, bersama menunaikan tugas untuk kemajuan daerah dan kepentingan rakyat Tolitoli.
Belajar dari Tolitoli, sangat arif jika Gubernur dan Sekdaprov mencari jalan keluar bersama dan tidak gontok-gontokan soal aturan. Selaku PNS yang baik, Gumyadi hendaknya menyiapkan penggantinya untuk proses regenerasi dan kaderisasi. Apatah lagi selaku Sekdaprov ia memegang pucuk pimpinan Badan Pertimbangan jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat). Pun demikian Gubernur, sekiranya sedikit bersabar menunggu keputusan Presiden memberhentikan Sekdaprov Gumyadi dan mengangkat pejabat baru. Kini semuanya kembali pada kedua pejabat bersangkutan.***
Komentar
Posting Komentar