Naikkan Posisi Tawar, Diperlukan Serikat Pekerja Pers
MAY DAY yang jatuh tiap tanggal 1 Mei, menjadi hari penting bagi kaum buruh atau pekerja sedunia. Pada hari ini, buruh sedunia tumplek ke jalanan dan mendatangi instansi pemerintahan untuk memperjuangkan hak-hak dasar mereka. Suara yang paling banter diteriakkan adalah kesejahteraan.
Pada May Day, biasanya sangat sedikit organisasi pers yang ikut aksi. Bisa jadi kondisi itu diakibatkan masih kurangnya serikat pekerja Pers (SPP) dan wacana pro kontra dalam memandang wartawan atau jurnalis sebagai buruh atau profesional.
Padahal meminjam pandangan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), jurnalis merupakan pekerja atau bahasa lazim dalam gerakan lebih dikenal sebagai buruh. Jurnalis, selain sebagai profesi, juga bekerja untuk media tertentu. Jurnalis memerlukan media untuk menyebarluaskan karyanya. Oleh karena itu, jurnalis merupakan pekerja sebuah institusi (perusahaan) media.
Karakter inilah yang membedakan jurnalis dengan profesi lainnya, misalnya dokter atau pengacara yang bisa buka praktik pribadi. Konsekuensinya, setiap pekerja memiliki hak untuk berserikat. Hak berserikat ini telah diakui oleh kalangan internasional. Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization, ILO) menelurkan Konvensi 87 yang menyebutkan “Pekerja/buruh memiliki hak mendirikan atau bergabung dengan organisasi yang mereka pilih.”
Konvensi ini telah diratifikasi 97 negara, termasuk Indonesia, pada tanggal 9 Juni 1998. Hak berserikat ini diperkuat Konvensi 98 ILO yang menyatakan “Buruh/pekerja harus mendapatkan proteksi terhadap tindakan diskriminasi anti-serikat di tempat kerjanya”. Indonesia sendiri memiliki Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Serikat pekerja semestinya tidak dianggap duri dalam daging di sebuah perusahaan Pers. Justru, serikat pekerja merupakan bagian dari solusi permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan. Serikat pekerja sebenarnya punya peran penting dalam memberikan usulan penjenjangan karir, pengupahan, atau standar operasi lainnya. Hal ini akan menjernihkan pola pikir yang selama ini mengartikan serikat pekerja hanya sebagai tukang menuntut, tukang protes dan tukang mogok.
Secara positif, serikat pekerja berfungsi menggenjot produktivitas dan profesionalisme, wadah penyaluran aspirasi, alat perjuangan meningkatkan kesejahteraan serta media solidaritas dan advokasi pekerja.
NILAI PENTING SPP
Terungkap banyak fakta, seringkali terjadi permasalahan dalam dunia jurnalistik seperti kriminalisasi Pers, ketidaklayakan upah jurnalis hingga tidak adanya santunan dan biaya operasional bagi pekerja Pers. Padahal masalah kesejahteraan dan perlindungan hukum merupakan hak dasar setiap pekerja.
Sebenarnya hak pekerja tersebut dapat terwujud secara efektif bila para pekerja sebagai pemegang hak-hak dapat menikmati hak-hak mereka tanpa ada hambatan dan gangguan dari pihak manapun, pekerja selaku pemegang hak dapat melakukan tuntutan melalui prosedur-prosedur hukum atau dengan kata lain, bila ada pihak-pihak yang mengganggu, menghambat atau tidak melaksanakan hak tersebut, pekerja dapat menuntut melalui prosedur hukum yang ada untuk merealisasi hak dimaksud.
Untuk terlaksananya hak-hak pekerja (rights) perlu dipenuhi beberapa syarat diantaranya adanya pengetahuan dan pemahaman para pekerja terhadap hak-hak mereka yang telah secara tegas diatur dalam peraturan perundang-undangan, hak tersebut dipandang dan dirasakan para pekerja sebagai sesuatu yang esensial untuk melindungi kepentingan-kepentingan mereka, adanya prosedur hukum yang memadai yang diperlukan guna menuntut agar hak para pekerja itu tetap dihormati dan dilaksanakan, adanya kecakapan dari para pekerja untuk memperjuangkan dan mewujudkan haknya serta adanya sumberdaya politik yang memadai yang diperlukan para pekerja guna memperjuangkan perwujudan hak mereka.
Dalam konteks pemenuhan hak dan syarat-syarat di atas, maka keberadaan serikat pekerja Pers menjadi penting. Serikat Pekerja Pers (SPP) dapat dijadikan alat perjuangan untuk menuntut hak-hak dasar yang seharusnya dinikmati pekerja Pers.
UPAH LAYAK
Sampai saat ini belum ada kesepakatan atau standar secara nasional batasan upah layak bagi seorang jurnalis atau pekerja Pers. Jujur, masih banyak perusahaan Pers yang belum memberlakukan upah secara layak. Imbasnya pekerja Pers ‘terpaksa’ mencari tambahan penghasilan di luar dengan berbagai cara yang kadang kurang etis. Bukan hanya itu, profesionalisme pekerja Pers jadi terabaikan dan bahkan tergadaikan.
Sekadar diskursus untuk pekerja Pers Sulteng, dalam diskusi AJI Medan, upah layak jurnalis tahun 2008 Rp3 juta. Untuk Bandung, AJI mematok angka Rp4 juta. Angka tersebut didasarkan pada harga kebutuhan hidup di masing-masing daerah. Untuk 2009, dimana krisis global terjadi, angka tersebut bisa naik untuk menunjang kenaikkan daya beli pekerja Pers.
Sekaitan dengan May Day, tugas penting serikat pekerja Pers, adalah mengupayakan kesejahteraan pekerja Pers dengan upah layak. Tanpa upah layak, penyakit wartawan amplop, CNN (Cuma nengak-nengok), wartawan pemeras, jurnalis Muntaber (muncul tanpa berita), wartawan bodrex, wartawan tanpa surat kabar (WTS) atau lazim wartawan menolak amplop tapi senang karung dan idiom-idiom negatif lainnya tentang jurnalis yang muncul di masyarakat tidak akan hilang. Bisa jadi seorang jurnalis akan dipandang sebagai virus menakutkan laiknya virus flu babi atau HIV/AIDS. ***
Pada May Day, biasanya sangat sedikit organisasi pers yang ikut aksi. Bisa jadi kondisi itu diakibatkan masih kurangnya serikat pekerja Pers (SPP) dan wacana pro kontra dalam memandang wartawan atau jurnalis sebagai buruh atau profesional.
Padahal meminjam pandangan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), jurnalis merupakan pekerja atau bahasa lazim dalam gerakan lebih dikenal sebagai buruh. Jurnalis, selain sebagai profesi, juga bekerja untuk media tertentu. Jurnalis memerlukan media untuk menyebarluaskan karyanya. Oleh karena itu, jurnalis merupakan pekerja sebuah institusi (perusahaan) media.
Karakter inilah yang membedakan jurnalis dengan profesi lainnya, misalnya dokter atau pengacara yang bisa buka praktik pribadi. Konsekuensinya, setiap pekerja memiliki hak untuk berserikat. Hak berserikat ini telah diakui oleh kalangan internasional. Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization, ILO) menelurkan Konvensi 87 yang menyebutkan “Pekerja/buruh memiliki hak mendirikan atau bergabung dengan organisasi yang mereka pilih.”
Konvensi ini telah diratifikasi 97 negara, termasuk Indonesia, pada tanggal 9 Juni 1998. Hak berserikat ini diperkuat Konvensi 98 ILO yang menyatakan “Buruh/pekerja harus mendapatkan proteksi terhadap tindakan diskriminasi anti-serikat di tempat kerjanya”. Indonesia sendiri memiliki Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Serikat pekerja semestinya tidak dianggap duri dalam daging di sebuah perusahaan Pers. Justru, serikat pekerja merupakan bagian dari solusi permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan. Serikat pekerja sebenarnya punya peran penting dalam memberikan usulan penjenjangan karir, pengupahan, atau standar operasi lainnya. Hal ini akan menjernihkan pola pikir yang selama ini mengartikan serikat pekerja hanya sebagai tukang menuntut, tukang protes dan tukang mogok.
Secara positif, serikat pekerja berfungsi menggenjot produktivitas dan profesionalisme, wadah penyaluran aspirasi, alat perjuangan meningkatkan kesejahteraan serta media solidaritas dan advokasi pekerja.
NILAI PENTING SPP
Terungkap banyak fakta, seringkali terjadi permasalahan dalam dunia jurnalistik seperti kriminalisasi Pers, ketidaklayakan upah jurnalis hingga tidak adanya santunan dan biaya operasional bagi pekerja Pers. Padahal masalah kesejahteraan dan perlindungan hukum merupakan hak dasar setiap pekerja.
Sebenarnya hak pekerja tersebut dapat terwujud secara efektif bila para pekerja sebagai pemegang hak-hak dapat menikmati hak-hak mereka tanpa ada hambatan dan gangguan dari pihak manapun, pekerja selaku pemegang hak dapat melakukan tuntutan melalui prosedur-prosedur hukum atau dengan kata lain, bila ada pihak-pihak yang mengganggu, menghambat atau tidak melaksanakan hak tersebut, pekerja dapat menuntut melalui prosedur hukum yang ada untuk merealisasi hak dimaksud.
Untuk terlaksananya hak-hak pekerja (rights) perlu dipenuhi beberapa syarat diantaranya adanya pengetahuan dan pemahaman para pekerja terhadap hak-hak mereka yang telah secara tegas diatur dalam peraturan perundang-undangan, hak tersebut dipandang dan dirasakan para pekerja sebagai sesuatu yang esensial untuk melindungi kepentingan-kepentingan mereka, adanya prosedur hukum yang memadai yang diperlukan guna menuntut agar hak para pekerja itu tetap dihormati dan dilaksanakan, adanya kecakapan dari para pekerja untuk memperjuangkan dan mewujudkan haknya serta adanya sumberdaya politik yang memadai yang diperlukan para pekerja guna memperjuangkan perwujudan hak mereka.
Dalam konteks pemenuhan hak dan syarat-syarat di atas, maka keberadaan serikat pekerja Pers menjadi penting. Serikat Pekerja Pers (SPP) dapat dijadikan alat perjuangan untuk menuntut hak-hak dasar yang seharusnya dinikmati pekerja Pers.
UPAH LAYAK
Sampai saat ini belum ada kesepakatan atau standar secara nasional batasan upah layak bagi seorang jurnalis atau pekerja Pers. Jujur, masih banyak perusahaan Pers yang belum memberlakukan upah secara layak. Imbasnya pekerja Pers ‘terpaksa’ mencari tambahan penghasilan di luar dengan berbagai cara yang kadang kurang etis. Bukan hanya itu, profesionalisme pekerja Pers jadi terabaikan dan bahkan tergadaikan.
Sekadar diskursus untuk pekerja Pers Sulteng, dalam diskusi AJI Medan, upah layak jurnalis tahun 2008 Rp3 juta. Untuk Bandung, AJI mematok angka Rp4 juta. Angka tersebut didasarkan pada harga kebutuhan hidup di masing-masing daerah. Untuk 2009, dimana krisis global terjadi, angka tersebut bisa naik untuk menunjang kenaikkan daya beli pekerja Pers.
Sekaitan dengan May Day, tugas penting serikat pekerja Pers, adalah mengupayakan kesejahteraan pekerja Pers dengan upah layak. Tanpa upah layak, penyakit wartawan amplop, CNN (Cuma nengak-nengok), wartawan pemeras, jurnalis Muntaber (muncul tanpa berita), wartawan bodrex, wartawan tanpa surat kabar (WTS) atau lazim wartawan menolak amplop tapi senang karung dan idiom-idiom negatif lainnya tentang jurnalis yang muncul di masyarakat tidak akan hilang. Bisa jadi seorang jurnalis akan dipandang sebagai virus menakutkan laiknya virus flu babi atau HIV/AIDS. ***
Komentar
Posting Komentar