Menegaskan Kembali Semangat Bhinneka Tunggal Ika
TANGGAL 28 Oktober 2008, Sumpah Pemuda genap 80 tahun diikrarkan. Dalam waktu bersamaan, diperingati pula 100 tahun kebangkitan nasional dan 10 tahun reformasi. Ketiga peristiwa yang dilakonkan kaum muda tersebut memiliki nilai historis luar biasa bagi bangsa Indonesia.
Ada satu hal menarik yang dapat dipetik dari penggalan sejarah awal abad 20 di Indonesia. Pada masa itu mulai lahir gerakan terorganisir dalam bingkai gerakan intelektual, yang berusaha menyatukan gerak perlawaan terhadap imperialisme dan kolonialisme yang telah membekap hampir 300 tahun. Sebelumnya, gerakan lebih bersifat fisik, tersekat dalam batas teritorial sempit dan lebih berpaham primordial kelompok-etinis.
Selain bingkai intelektual, gerakan masa itu juga menggambarkan konfigurasi gerakan kaum muda. Gerakan seperti Budi Utomo, Syarikat Islam dan Indishce Partij diusung dan dilakukan anak-anak muda, yang kala itu masih tergolong mahasiswa atau baru lepas dari bangku pendidikan.
Gerakan kaum muda ini pada akhirnya sangat menentukan arah perjuangan bangsa dan menjadi warisan sejarah yang diikuti kaum muda pada masa-masa selanjutnya. Tercatat beberapa gerakan penentu bangsa, lebih dilakonkan kaum muda ketimbang orang-orang tua, seperti Sumpah Pemuda (1928), dorongan Proklamasi (peristiwa Rengas Dengklok) tahun 1945, Penggulingan Orde Lama (1966), Malari (1974), Penentangan Azas Tunggal (1986) hingga Reformasi (1998).
Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Indonesia. Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat.
Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Lapangan Banteng. Dalam sambutannya, ketua PPI Soegondo berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Yamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan
Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.
Pada sesi berikutnya, Soenario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.
Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu "Indonesia Raya" karya Wage Rudolf Supratman yang dimainkan dengan biola (dimainkan dengan biola saja atas saran Sugondo kepada Supratman). Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia.
SEMANGAT BHINNEKA TUNGGAL IKA
Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, PPI, dll. Di antara mereka hadir pula beberapa orang pemuda Tionghoa sebagai pengamat, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie serta Kwee Thiam Hong sebagai seorang wakil dari Jong Sumatranen Bond. Diprakarsai oleh AR Baswedan pemuda keturunan arab di Indonesia mengadakan kongres di Semarang dan mengumandangkan Sumpah pemuda keturunan arab.
Sumpah Pemuda yang dilaksanakan kelompok pemuda dari berbagai aliran sangat mencerminkan semangat Bhinneka Tungga Ika. Bhinneka Tunggal Ika dikemudian hari setelah kemerdekaan, menjadi motto atau semboyan Indonesia. Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuna dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”.
Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuna yaitu kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha.
Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap berbunyi:
“Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”.
Terjemahan kurang lebih “Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecah belahlah itu, tetapi satu jualah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran”.
Kini setelah delapan puluh tahun berselang dan Indonesia hidup dalam sistem pemerintahan otonomi daerah, acapkali semangat Bhinneka Tunggal Ika luntur. Otonomi daerah adalah pelimpahan sebagian kewenangan keweanganan pemerintah pusat pada pemerintah daerah dan bukan otonomi kedaerahan. Namun, dalam prakteknya sering tidak berjalan seperti itu. Otonomi daerah sering dimaknai sebagai otonomi kedaerahan, dimana semangat primordial etnik mendominasi jalannya pemerintahan.
Kini menjadi tanggung jawab seluruh anak bangsa, untuk mengembalikan semangat Bhinneka Tunggal Ika yang dilakonkan kaum muda pada tahun 1928, 1966 dan 1998. Dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika, diharapkan tidak terjadi chaos ditingkatan masyarakat.
Tak bisa dipungkiri maraknya tindak kekarasan ditingkat grass root dimana masyarakat saling adu jotos demi mempertahankan nasionalisme etnisnya, merupakan bukti lemahnya semangat Bhinneka TunggalIka yang dipupuk kaum muda tahun 1928. Satu pertanyaan yuang patut direnungkan bersama, apakah kita harus menunggu sampai terjadinya chaos sebagai titik klimaks pudarnya semangat Bhinneka Tunggal Ika? ***
Ada satu hal menarik yang dapat dipetik dari penggalan sejarah awal abad 20 di Indonesia. Pada masa itu mulai lahir gerakan terorganisir dalam bingkai gerakan intelektual, yang berusaha menyatukan gerak perlawaan terhadap imperialisme dan kolonialisme yang telah membekap hampir 300 tahun. Sebelumnya, gerakan lebih bersifat fisik, tersekat dalam batas teritorial sempit dan lebih berpaham primordial kelompok-etinis.
Selain bingkai intelektual, gerakan masa itu juga menggambarkan konfigurasi gerakan kaum muda. Gerakan seperti Budi Utomo, Syarikat Islam dan Indishce Partij diusung dan dilakukan anak-anak muda, yang kala itu masih tergolong mahasiswa atau baru lepas dari bangku pendidikan.
Gerakan kaum muda ini pada akhirnya sangat menentukan arah perjuangan bangsa dan menjadi warisan sejarah yang diikuti kaum muda pada masa-masa selanjutnya. Tercatat beberapa gerakan penentu bangsa, lebih dilakonkan kaum muda ketimbang orang-orang tua, seperti Sumpah Pemuda (1928), dorongan Proklamasi (peristiwa Rengas Dengklok) tahun 1945, Penggulingan Orde Lama (1966), Malari (1974), Penentangan Azas Tunggal (1986) hingga Reformasi (1998).
Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Indonesia. Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat.
Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Lapangan Banteng. Dalam sambutannya, ketua PPI Soegondo berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Yamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan
Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.
Pada sesi berikutnya, Soenario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.
Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu "Indonesia Raya" karya Wage Rudolf Supratman yang dimainkan dengan biola (dimainkan dengan biola saja atas saran Sugondo kepada Supratman). Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia.
SEMANGAT BHINNEKA TUNGGAL IKA
Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, PPI, dll. Di antara mereka hadir pula beberapa orang pemuda Tionghoa sebagai pengamat, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie serta Kwee Thiam Hong sebagai seorang wakil dari Jong Sumatranen Bond. Diprakarsai oleh AR Baswedan pemuda keturunan arab di Indonesia mengadakan kongres di Semarang dan mengumandangkan Sumpah pemuda keturunan arab.
Sumpah Pemuda yang dilaksanakan kelompok pemuda dari berbagai aliran sangat mencerminkan semangat Bhinneka Tungga Ika. Bhinneka Tunggal Ika dikemudian hari setelah kemerdekaan, menjadi motto atau semboyan Indonesia. Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuna dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”.
Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuna yaitu kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha.
Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap berbunyi:
“Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”.
Terjemahan kurang lebih “Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecah belahlah itu, tetapi satu jualah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran”.
Kini setelah delapan puluh tahun berselang dan Indonesia hidup dalam sistem pemerintahan otonomi daerah, acapkali semangat Bhinneka Tunggal Ika luntur. Otonomi daerah adalah pelimpahan sebagian kewenangan keweanganan pemerintah pusat pada pemerintah daerah dan bukan otonomi kedaerahan. Namun, dalam prakteknya sering tidak berjalan seperti itu. Otonomi daerah sering dimaknai sebagai otonomi kedaerahan, dimana semangat primordial etnik mendominasi jalannya pemerintahan.
Kini menjadi tanggung jawab seluruh anak bangsa, untuk mengembalikan semangat Bhinneka Tunggal Ika yang dilakonkan kaum muda pada tahun 1928, 1966 dan 1998. Dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika, diharapkan tidak terjadi chaos ditingkatan masyarakat.
Tak bisa dipungkiri maraknya tindak kekarasan ditingkat grass root dimana masyarakat saling adu jotos demi mempertahankan nasionalisme etnisnya, merupakan bukti lemahnya semangat Bhinneka TunggalIka yang dipupuk kaum muda tahun 1928. Satu pertanyaan yuang patut direnungkan bersama, apakah kita harus menunggu sampai terjadinya chaos sebagai titik klimaks pudarnya semangat Bhinneka Tunggal Ika? ***
Komentar
Posting Komentar