Banjir Layana, Peringatan Dini untuk Pemerintah Kota
JUM'AT (24/10/2008), masyarakat Kota Palu dikejutkan dengan bencana banjir yang menerjang Kelurahan Layana Kecamatan Palu Timur. Banjir yang disertai material bebatuan dan semak, merusak beberapa rumah warga dan menewaskan satu bocah, Muhammad Ogi Jowo (8 Bulan).
Banjir tersebut merupakan musibah sekaligus peringatan dini bagi pemerintah. Bagaimana tidak, banjir datang tak terduga tanpa kabar adanya perambahan hutan di daerah hulu. Memang kondisi hutan daerah hulu jauh hari telah gundul dan rusak. Meski demikian, nyaris tidak pernah terjadi banjir sebelum Jum’at lalu.
Banjir Layana seakan ingin memperingatkan pemerintah untuk berhati-hati memberikan izin tambang di daerah penyangga dan resapan air. Lima tahun terakhir masyarakat diperhadapkan pada wacana pemberian izin tambang di daerah Poboya. Dengan izin dan eksploitasi yang dilakukan pada daerah Poboya, tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan dampak kerusakan lingkungan dan menimbulkan bencana seperti banjir di daerah hilir.
Banjir Layana melengkapi deretan panjang banjir yang terjadi di Sulteng setahun terakhir. Dalam catatan Redaksi Mercusuar, sebelumnya telah dua kali terjadi banjir di bantaran Sungai Palu yang mengakibatkan ratusan rumah terendam, akibat tanggul sungai yang jebol.
Di Touna, setahun ini telah terjadi tiga kali banjir yang mengakibatkan ratusan hektar sawah gagal panen. Berdasarkan pemaparan masyarakat Tojo dan data Walhi Sulteng, banjir diakibatkan praktek pembalakan yang marak di kabupaten Touna. Pembalakan selain mengakibatkan banjir juga menimbulkan dampak di 12 desa di Kecamatan Tojo dan Tojo Barat, minimnya debit air dan pengambilan wilayah adat masyarakat To Laleo dan To Ra’u yang ada di Desa Tayawa, Korondoda, Malewa dan Tanamawau.
Bahkan dalam tiga tahun terakhir, Sungai Mowomba dan Tayawa yang merupakan sumber air bersih masyarakat Desa Lemoro, Gandalari, Tayawa dan bahari mengalami penurunan debit air. Belakangan, air juga mulai berubah keruh dan berlumpur.
Banjir terakhir terjadi di perbatasan Touna dan Banggai yang mengakibatkan jembatan Sungai Bongka ambruk. Imbasnya, transportasi darat melalui jalur trans Sulawesi putus total beberapa waktu. Malah hingga kini transportasi belum normal seperti hari-hari sebelum banjir menerjang.
Pada saat yang bersamaan, banjir juga menerjang daerah Toili kabupaten Banggai dan kota Tolitoli. Demikian halnya dengan desa Sidondo kabupaten Donggala dan kecamatan Tiloan kabupaten Buol. Banjir yang terjadi di Tiloan mengakibatkan ratusan rumah di Air Terang, Balau, Boilan, Galio dan desa sekitar terendam. Ratusan hektar sawah gagal panen.
Hampir setiap tahun di musim hujan, daerah Sulteng banjir. Namun izin pengolahan hasil hutan dan tambang terus saja bermunculan. Pembalakan terus dilakukan. Pun, belum terlihat konsep penangan banjir secara komprehensif yang diperlihatkan pemerintah.
Sekadar contoh, tiap tahun dataran Podi di Touna terserang banjir dan penanganannya bersifat parsial. Pemerintah selalu menganggarkan pembuatan turab dan tanggul penahan di sekitar sungai dan pantai. Sementara pembalakan di daerah hulu terus berjalan dan menjadi biang banjir setiap tahunnya. Walhasil, pembangunan turab, tanggul dan perbaikan jembatan tidak berarti, ketika banjir datang kembali.***
Banjir tersebut merupakan musibah sekaligus peringatan dini bagi pemerintah. Bagaimana tidak, banjir datang tak terduga tanpa kabar adanya perambahan hutan di daerah hulu. Memang kondisi hutan daerah hulu jauh hari telah gundul dan rusak. Meski demikian, nyaris tidak pernah terjadi banjir sebelum Jum’at lalu.
Banjir Layana seakan ingin memperingatkan pemerintah untuk berhati-hati memberikan izin tambang di daerah penyangga dan resapan air. Lima tahun terakhir masyarakat diperhadapkan pada wacana pemberian izin tambang di daerah Poboya. Dengan izin dan eksploitasi yang dilakukan pada daerah Poboya, tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan dampak kerusakan lingkungan dan menimbulkan bencana seperti banjir di daerah hilir.
Banjir Layana melengkapi deretan panjang banjir yang terjadi di Sulteng setahun terakhir. Dalam catatan Redaksi Mercusuar, sebelumnya telah dua kali terjadi banjir di bantaran Sungai Palu yang mengakibatkan ratusan rumah terendam, akibat tanggul sungai yang jebol.
Di Touna, setahun ini telah terjadi tiga kali banjir yang mengakibatkan ratusan hektar sawah gagal panen. Berdasarkan pemaparan masyarakat Tojo dan data Walhi Sulteng, banjir diakibatkan praktek pembalakan yang marak di kabupaten Touna. Pembalakan selain mengakibatkan banjir juga menimbulkan dampak di 12 desa di Kecamatan Tojo dan Tojo Barat, minimnya debit air dan pengambilan wilayah adat masyarakat To Laleo dan To Ra’u yang ada di Desa Tayawa, Korondoda, Malewa dan Tanamawau.
Bahkan dalam tiga tahun terakhir, Sungai Mowomba dan Tayawa yang merupakan sumber air bersih masyarakat Desa Lemoro, Gandalari, Tayawa dan bahari mengalami penurunan debit air. Belakangan, air juga mulai berubah keruh dan berlumpur.
Banjir terakhir terjadi di perbatasan Touna dan Banggai yang mengakibatkan jembatan Sungai Bongka ambruk. Imbasnya, transportasi darat melalui jalur trans Sulawesi putus total beberapa waktu. Malah hingga kini transportasi belum normal seperti hari-hari sebelum banjir menerjang.
Pada saat yang bersamaan, banjir juga menerjang daerah Toili kabupaten Banggai dan kota Tolitoli. Demikian halnya dengan desa Sidondo kabupaten Donggala dan kecamatan Tiloan kabupaten Buol. Banjir yang terjadi di Tiloan mengakibatkan ratusan rumah di Air Terang, Balau, Boilan, Galio dan desa sekitar terendam. Ratusan hektar sawah gagal panen.
Hampir setiap tahun di musim hujan, daerah Sulteng banjir. Namun izin pengolahan hasil hutan dan tambang terus saja bermunculan. Pembalakan terus dilakukan. Pun, belum terlihat konsep penangan banjir secara komprehensif yang diperlihatkan pemerintah.
Sekadar contoh, tiap tahun dataran Podi di Touna terserang banjir dan penanganannya bersifat parsial. Pemerintah selalu menganggarkan pembuatan turab dan tanggul penahan di sekitar sungai dan pantai. Sementara pembalakan di daerah hulu terus berjalan dan menjadi biang banjir setiap tahunnya. Walhasil, pembangunan turab, tanggul dan perbaikan jembatan tidak berarti, ketika banjir datang kembali.***
Komentar
Posting Komentar