Menggugat Tanggungjawab Pemerintah Mencairkan DPM

SEJAK Indonesia merdeka, pemerintahan Orde Lama, Orde Baru hingga masa reformasi saat ini, sering kali rakyat harus menanggung kerugian akibat kebijakan pemerintah. Salah satu contoh paling nyata, persoalan pengembalian dana penyertaan modal (DPM) petani cengkeh Sulteng sebesar Rp48 miliar, yang dikelola Inkud dan Puskud.
Sebagaimana dilansir Mercusuar (24/2), pemerintah berlepas tangan atas tuntutan petani cengkeh, dengan alasan tidak ada kerugian negara dalam kasus tersebut. Kasus tersebut murni antara petani cengkeh dengan Puskud dan Inkud, pasca pembubaran Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC).
DPM pada awalnya merupakan program nasional berdasarkan SK Menteri Perdagangan No. 23/KP/I/1991 tertanggal 31 Januari tentang Penetapan harga cengkeh dan Penetapan DPM sebesar Rp 1.000/Kg. SK itu ditindak lanjuti dengan Inpres No. 1 Tahun 1992 tentang Harga Dasar Pembelian Cengkeh oleh KUD dari Petani.
Selang tahun 1991 hingga tahun 1997 dengan dibubarkannya BPPC, DPM dari 99 KUD Tata Niaga Cengkeh Sulteng, terkumpul sebesar Rp96 miliar. Setelah pembubaran BPPC, melalui Keppres No. 21 Tahun 1998 dan Kepmen Perindag No. 22/MPP/Kop/II/1998, pengelolaan dan pencairan DPM diserahkan sepenuhnya pada koperasi, melalui Induk Koperasi.
Keputusan itu ditindak lanjuti dengan rapat Inkud tanggal 2 Nopember 1998. Melalui keputusan No. 03/IK/SK-PA/XI/1998, disepakati pengelolaan DPM dibagi 50 persen oleh KUD, 30 persen Puskud dan Inkud mendapat jatah pengelolaan sebanyak 20 persen.
Khusus untuk Sulteng, berdasar laporan Forum Petani cengkeh Tolitoli, 50 persen DPM sebesar Rp48 miliar telah dicairkan dan disalurkan pada petani cengkeh. Separuhnya, yang dikelola Puskud dan Inkud, sebesar Rp48 miliar hingga kini belum dicairkan. Sisa DPM Rp48 miliar tersebut terbagi pada Inkud Rp19.203.232.000,- dan Puskud Sulteng, Rp28.804.848.000,-
Merunut fakta diatas, jelas DPM merupakan kebijakan pemerintah. Dengan demikian akibat yang ditimbulkan atas pembentukan dan pembubaran BPPC serta pengembalian DMP, tidak bisa lepas dari tanggung jawab pemerintah. Jika pemerintah tidak mampu menalangi pencairan DPM, maka jalan yang semestinya ditempuh menekan Inkud dan Puskud atas nama rakyat, untuk secepatnya mencairkan DPM yang tersisa. Tanggung jawab seperti ini, sejalan dengan tujuan pendirian negara yang termaktub dalam UUD 1945. Sebaliknya jika pemerintah bersikukuh berlepas tangan, berarti pelanggaran terhadap UUD 1945.
Tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia dengan jelas disebut dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 yakni untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Tujuan negara jelas menunjukkan Indonesia sebagai negara hukum berpaham kesejahteraan (Welfare State). Artinya negara menjamin persamaan memperoleh pendapatan (incomes), kekayaan (wealths), kesejahteraan (welfares), kesempatan (opportunities), kesuksesan (achievements), kebebasan (freedoms), hukum (law) dan atau terhadap hak-hak (rights).
Mengacu pada pendekatan hukum, maka pemerintah sebagai aparatur negara berkewajiban meperlakukan petani cengkeh dan pengelola DPM secara adil. Hak petani memperoleh kembali uangnya harus dilaksanakan dibawah tanggungjawab pemerintah penyelenggara negara. Menjadi riskan, ketika pemerintah berlepas tangan soal DPM. Petani cengkeh yang kurang memahami mekanisme hukum dan bargaining position relatif lemah terhadap Inkud dan Puskud, menyelesaikan masalahnya sendiri.
Dalam pendekatan ekonomi, pemerintah juga dapat dinilai mengabaikan keadilan sosial yang dimaksud UUD 1945. Tidak tercairkannya DPM Rp48 miliar pada petani, akan membentuk rongga baru kesenjangan sosial. Di tengah himpitan ekonomi global, pencairan DPM sangat berarti bagi petani cengkeh.
Dalam teori ekonomi, dikenal dengan dua pendekatan pokok menuju keadilan sosial dan konsep Welfare State, yaitu pendekatan neoclassical dan new welfare economics. Kedua teori ini meski berbeda, tetap menekankan pemerataan kesejahteraan bagi setiap orang, sebagaimana yang diinginkan pendiri bangsa Moh. Hatta ketika merancang Pasal 33 UUD 1945.
Tidak dicairkannya DPM untuk petani cengkeh, dalam pendekatan dua teori ekonomi diatas, akan ‘menggemukkan’ satu kelompok masyarakat dan ‘menguruskan’ kelompok masyarakat lainnya. Dalam konteks ini, pemerintah berfungsi sebagai katalisator terjadinya ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan hukum, karena pembentukan BPPC dan DPM merupakan kebijakan pemerintah.***

Komentar

  1. tulisan ini, cukup menarik sebagai bahan masukan atau otokritik terhadap pengambil kebijakan, agar kedepan dapat mengedepankan kebijakan pro-rakyat.
    Bahkan terkesan, selama ini pemerintah hanya menjadikan masyarakat sebagai subjek bagi kebijakan. Idealya,rakyat seperti petani harus ditempatkan sebagai objek. Sehingga produk kebijakan pemerintah benar-benar berdasarkan aspirasi rakyat.
    Bukan hanya untuk potensi cengkeh, namun semua potensi di Sulteng, perlu dimenejmen dan dikelola dalam bingkai kearifan demi kesejahteraan rakyat. By: Samsuri H Pasangio Putra Sulawesi Bagian Timur......

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

Negeriku Makin Lucu