Mempertaruhkan Profesionalisme Wartawan

Catatan Hari Pers Nasional
Mempertaruhkan Profesionalisme Wartawan

Setiap tanggal 9 Februari, insan pers Indonesia memperingati Hari Pers Nasional (HPN). Semakin diperingati, semakin kompleks pula permasalahan pers Indonesia. Salah satu hal yang patut direnungi bersama di HPN, persoalan profesionalisme wartawan.
Sekira dua bulan lalu, ada oknum wartawan di kota Palu terpaksa meringkuk di balik terali besi, karena dugaan melakukan penipuan. Pada berita lain, ada wartawan yang diadukan ke kepolisian karena tulisannya yang tidak obyektif dan tak berimbang. Masih banyak kasus lainnya yang menggambarkan pers tidak profesional.
Dua kasus tersebut seakan mewakili wajah pers laiknya bulan. Satu sisi terang benderang dan pada sisi lainnya gelap gulita tanpa cahaya. Pers yang menjunjung tinggi profesionalisme, diakui sebagai pilar keempat tegaknya nilai-nilai demokrasi dan peradaban di muka bumi. Dengan mengabaikan profesionalisme, pers juga dapat berperan merubuhkan nilai-nilai demokrasi, menabrak hukum dan pada akhirnya memberikan kontribusi negatif pembangunan peradaban. Pertanyaannya, kenapa masih banyak pelaku pers kurang menjunjung tinggi nilai profesionalisme?
Paling tidak ada tiga permasalahan pokok timbulnya pers tanpa profesionalisme. Pertama, banyak pelaku pers (wartawan) yang tidak sepenuhnya memahami UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Walhasil kerja-kerja pers yang dilakukannya tidak berpatokan pada ketentuan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Permasalahan ini sering timbul karena, sistem rekruitmen wartawan pada perusahaan pers yang mempertimbangkan integritas dan kapabilitas wartawan. Perusahaan pers seringkali dengan mudah menerima seseorang menjadi calon wartawan. Sementara upaya pematangan calon wartawan tidak berjalan optimal. Malah dalam kasus tertentu, banyak wartawan yang enggan mengembangkan dirinya. Mereka merasa cukup bermodalkan kemampuan menulis dengan rumus standar 5W+1H.
Kedua, masalah pertama timbul karena regulasi pemerintah dalam penetapan UU Pers. Pasca runtuhnya Orde Baru, kebebasan pers berjalan sedemikian rupa. UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers membuka ruang seluas-luasnya bagi masyarakat membuka perusahaan pers. Syarat perusahaan pers hanya akta notaris perusahaan dan berbadan hukum Indonesia, sebagaimana termaktub dalam Pasal 9 ayat (1) setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers dan ayat (2) setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.
Tidak ada sama sekali regulasi susulan yang mengatur pendirian perusahaan pers secara teknis. Imbasnya perusahaan pers menjamur, meski dengan kemampuan dasar sangat minimum. Kondisi ini pada akhirnya menggiring pelaku pers bekerja tidak profesional.
Ketiga, Perusahaan pers tanpa kemampuan dasar berujung pada kemampuan menyejahterakan wartawan. Harus diakui banyak perusahaan pers belum mampu menyejahterakan wartawan. Ujung-ujungnya wartawan harus “kreatif” mencari pendapatan di luar perusahaan. Kebiasaan mencari pendapatan di luar perusahaan, berakibat fatal bagi wartawan yang tidak menjunjung sikap profesional. Profesi wartawan sering dijadikan alat untuk menambah pendapatan yang dimaksud. Dalam konteks ini, maka negara dan perusahaan pers memiliki andil besar “menghancurkan profesionalisme” wartawan.

JALAN KELUAR
Lalu apa yang harus dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut? Untuk menumbuhkan sikap profesionalisme wartawan, wacana penerbitan sertifikat profesi seperti yang dikembangkan Ketua Dewan Pers Ichlasul Amal, dapat dijadikan salah satu jalan keluar. Wartawan sebagai profesi harusnya memiliki standar baku sebagaimana profesi. Memang seorang wartawan mesti seorang generalis yang dituntut mengetahui banyak hal. Olehnya sertifikasi tidak dinilai secara akademis, melainkan nilai-nilai tertentu dan kemampuan teknis yang melekat secara mendasar bagi seseorang yang hendak terjun dalam dunia pers.
Persoalan kemampuan dasar perusahaan pers, dapat diatasi jika pemerintah membuat regulasi yang menekankan batas ambang kemampuan permodalan untuk pendirian perusahaan pers. Paling tidak perusahaan pers harus mencontoh pada aturan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang memberikan batas ambang permodalan bagi perusahaan perbankan. Dengan cara seperti ini, tidak serta merta setiap orang dapat mendirikan perusahaan pers dan pada akhirnya tidak mampu menyejahterakan wartawannya.
Selanjutnya, perlu pengaturan secara tegas pemberlakuan standar minimum gaji bagi wartawan dengan menempatkan kerja-kerja wartawan sebagai profesi. Wartawan tidak boleh ditempatkan sebagai buruh perusahaan pers. Aturan penggajian wartawan, dibuat sedemikian rupa sebagamana profesi tertentu seperti guru, dosen dan dokter. Dengan cara seperti ini, diyakini akan menekan munculnya wartawan tidak profesional. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

Negeriku Makin Lucu