Kepemimpinan Politik Bukan Warisan
AMIRUL Mukminin Umar bin Khattab menjelang akhir pemerintahannya, membentuk tim pemilihan khalifah penggantinya dan berpesan agar tidak memilih keluarganya untuk menjadi khalifah sesudahnya.
Ia juga berpesan pada putranya Abdullah bin Umar bin Khattab untuk menghindari tugas pemerintahan dan menghilangkan keinginan untuk terjun ke dunia politik mengganti dirinya. “Cukup aku saja menjadi khalifah, jangan mengikuti jejakku. Sungguh amanah menjadi khalifah sangat berat,” peranya pada putranya.
Dari riwayat tersebut seakan-akan Umar ingin memberikan pelajaran bagi seluruh ummat setelahnya, pertama, bahwa jabatan tidak serta merta dapat diturunkan pada keluarga terdekatnya. Umar cukup berpandangan politik modern, bahwa jabatan politik bukan harta yang dapat diwariskan pada anak cucunya.
Kedua, Umar memahami bahwa pewarisan jabatan politik atau jabatan tertentu pada keluarga tanpa dapat menjerumuskan masyarakat pada budaya nepotisme, yang pada zaman ini menjadi musuh nyata kehidupan sosial politik.
Ketiga, Umar menyadari bahwa tidak selamanya kemampuan kepemimpinan putranya sama dengan yang ia miliki. Olehnya kesalahan besar jika ia memilih putranya untuk ditokohkan dikemudian hari, dengan acuan kemampuan yang ia miliki.
Sepertinya pilihan bijak Umar bin Khattab tidak dijadikan pelajaran masyarakat Indonesia saat ini. Akhir-akhir ini kita melihat fenomena pecalonan anggota legislative yang dilakukan partai-partai tertentu, memberikan ruang besar bagi anak-anak pejabat dan pimpinan partai untuk maju. Padahal belum tentu sang anak memiliki kehebatan dan kemampuan seperti orang tuanya.
Sejarah Indonesia membuktikan, tidak semua anak-anak pejuang atau orang-orang top memiliki kemampuan seperti orang tuanya. Sehingga ketika diberikan kesempatan tampil memegang kendali politik atau jabatan tertentu, mereka lebih mendompleng ketenaran orang tuanya daripada bekerja dengan kemampuannya sendiri. Walhasil, mereka tidak menghasilkan sesuatu yang berarti saat menjadi pemimpin atau pejabat.
Selain pencalonan anak pejabat, kita juga menyaksikan banyak calon yang diajukan karena memiliki kedekatan dengan pimpinan partai atau karena ia menjadi pengurus partai. Namun demikian, belum tentu orang dicalonkan memiliki kualifikasi kepemimpinan atau wakil rakyat sebagaimana yang dibutuhkan masyarakat.
Sebagai sebuah renungan, Allah SWT mengajarkan pada manusia untuk memberikan amanah pada orang sesuai kemampuan yang ia miliki, bukan karena kedekatan hubungan atau jalinan kekerabatan. Diantara ayat-ayat mengenai kewajiban memberikan amanah adalah firman Allah SWT Surat An Nissa ayat 58.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menunaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini, “Allah memberitakan bahwasanya Ia memerintahkan untuk menunaikan amanah-amanah kepada ahlinya”.
Dalam sebuah hadistnya, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Berikanlah amanah pada ahlinya. Jika tidak, maka tunggulah kehancurannya.”
Firman Allah SWT dan hadist Rasulullah SAW tersebut, dalam konteks sosial politik menunjukkan kebenarannya. Banyak orang yang diangkat atau dipilih menjdi pejabat –termasuk wakil rakyat- akhirnya tidak mampu berbuat apa-apa, karena mereka bukan orang yang tepat. Mereka dipilih lebih karena lasan primordial dan nepotisme.
Ujungnya, saat menduduki jabatannya mereka mengingkari amanah rakyat, melanggar sumpah janji jabatan dan berbuat hanya untuk kepentingan diri dan golongannya saja.
Hadits Rasulullah dari Anas r.a, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Yang pertama hilang dari urusan agama kalian adalah amanah, dan yang terakhirnya adalah shalat”. (HR. Al-Kharaithi dalam Makarimil Akhlak).
Pemilu 2009, pada akhirnya akan menjadi taruhan terakhir untuk Indonesia lima tahun kedepan. Kesalahan mengusulkan calon dan pemilihan, akan melahirkan pemimpin dan pejabat yang tidak akan membawa perubahan dan perbaikan. Kini tinggal masyarakat pemilih, masihkah mereka mau belajar pada Umar bin Khattab dan menjadikan peringatan Rasulullah SAW dan Allah SWT, dalam menentukan pilihan? Semua kembali pada mereka sendiri. Yang jelas, Allah dan Rasul-Nya telah memberikan rambu-rambu untuk memberikan amanah pada pihak-pihak yang memiliki kompetensi.***
Ia juga berpesan pada putranya Abdullah bin Umar bin Khattab untuk menghindari tugas pemerintahan dan menghilangkan keinginan untuk terjun ke dunia politik mengganti dirinya. “Cukup aku saja menjadi khalifah, jangan mengikuti jejakku. Sungguh amanah menjadi khalifah sangat berat,” peranya pada putranya.
Dari riwayat tersebut seakan-akan Umar ingin memberikan pelajaran bagi seluruh ummat setelahnya, pertama, bahwa jabatan tidak serta merta dapat diturunkan pada keluarga terdekatnya. Umar cukup berpandangan politik modern, bahwa jabatan politik bukan harta yang dapat diwariskan pada anak cucunya.
Kedua, Umar memahami bahwa pewarisan jabatan politik atau jabatan tertentu pada keluarga tanpa dapat menjerumuskan masyarakat pada budaya nepotisme, yang pada zaman ini menjadi musuh nyata kehidupan sosial politik.
Ketiga, Umar menyadari bahwa tidak selamanya kemampuan kepemimpinan putranya sama dengan yang ia miliki. Olehnya kesalahan besar jika ia memilih putranya untuk ditokohkan dikemudian hari, dengan acuan kemampuan yang ia miliki.
Sepertinya pilihan bijak Umar bin Khattab tidak dijadikan pelajaran masyarakat Indonesia saat ini. Akhir-akhir ini kita melihat fenomena pecalonan anggota legislative yang dilakukan partai-partai tertentu, memberikan ruang besar bagi anak-anak pejabat dan pimpinan partai untuk maju. Padahal belum tentu sang anak memiliki kehebatan dan kemampuan seperti orang tuanya.
Sejarah Indonesia membuktikan, tidak semua anak-anak pejuang atau orang-orang top memiliki kemampuan seperti orang tuanya. Sehingga ketika diberikan kesempatan tampil memegang kendali politik atau jabatan tertentu, mereka lebih mendompleng ketenaran orang tuanya daripada bekerja dengan kemampuannya sendiri. Walhasil, mereka tidak menghasilkan sesuatu yang berarti saat menjadi pemimpin atau pejabat.
Selain pencalonan anak pejabat, kita juga menyaksikan banyak calon yang diajukan karena memiliki kedekatan dengan pimpinan partai atau karena ia menjadi pengurus partai. Namun demikian, belum tentu orang dicalonkan memiliki kualifikasi kepemimpinan atau wakil rakyat sebagaimana yang dibutuhkan masyarakat.
Sebagai sebuah renungan, Allah SWT mengajarkan pada manusia untuk memberikan amanah pada orang sesuai kemampuan yang ia miliki, bukan karena kedekatan hubungan atau jalinan kekerabatan. Diantara ayat-ayat mengenai kewajiban memberikan amanah adalah firman Allah SWT Surat An Nissa ayat 58.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menunaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini, “Allah memberitakan bahwasanya Ia memerintahkan untuk menunaikan amanah-amanah kepada ahlinya”.
Dalam sebuah hadistnya, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Berikanlah amanah pada ahlinya. Jika tidak, maka tunggulah kehancurannya.”
Firman Allah SWT dan hadist Rasulullah SAW tersebut, dalam konteks sosial politik menunjukkan kebenarannya. Banyak orang yang diangkat atau dipilih menjdi pejabat –termasuk wakil rakyat- akhirnya tidak mampu berbuat apa-apa, karena mereka bukan orang yang tepat. Mereka dipilih lebih karena lasan primordial dan nepotisme.
Ujungnya, saat menduduki jabatannya mereka mengingkari amanah rakyat, melanggar sumpah janji jabatan dan berbuat hanya untuk kepentingan diri dan golongannya saja.
Hadits Rasulullah dari Anas r.a, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Yang pertama hilang dari urusan agama kalian adalah amanah, dan yang terakhirnya adalah shalat”. (HR. Al-Kharaithi dalam Makarimil Akhlak).
Pemilu 2009, pada akhirnya akan menjadi taruhan terakhir untuk Indonesia lima tahun kedepan. Kesalahan mengusulkan calon dan pemilihan, akan melahirkan pemimpin dan pejabat yang tidak akan membawa perubahan dan perbaikan. Kini tinggal masyarakat pemilih, masihkah mereka mau belajar pada Umar bin Khattab dan menjadikan peringatan Rasulullah SAW dan Allah SWT, dalam menentukan pilihan? Semua kembali pada mereka sendiri. Yang jelas, Allah dan Rasul-Nya telah memberikan rambu-rambu untuk memberikan amanah pada pihak-pihak yang memiliki kompetensi.***
Komentar
Posting Komentar