Wartawan dan Nabi Palsu

Oleh: Temu Sutrisno




Tengah hari beranjak sore. Tonakodi berdiri di bordes lantai dua bangunan kantor asosiasi profesi. Tatapannya mengarah pada awan hitam tipis, yang mulai mengarak ke arah perbukitan di sebelah barat kota. 

Perbukitan yang dulu indah membiru, kini nampak kecoklatan di beberapa titik. Sebagian area menganga seperti menertawakan diri sendiri. Bukit perkasa yang tak mampu melawan kuasa, digerogoti mesin dibongkar paksa, dikeruk, dijual ke pulau manca.

Serombongan bangau terbang melintas dari kabupaten sebelah, menuju ke utara. Rombongan burung itu, berupaya menghindari debu yang membumbung mengangkasa.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," sahut Tonakodi menyambut beberapa anak muda. 

Tonakodi mempersilakan tamunya masuk, sembari menyalami satu per satu.

"Tabe le Tonakodi, ini beberapa adik-adik mahasiswa mau belajar, bincang-bincang soal jurnalistik," Ami, sahabat Tonakodi membuka pembicaraan.

"Ohh. Baguslah, kalau masih ada anak-anak muda mau belajar jurnalistik," sambut Tonakodi.

"Tapi saya ingatkan ya, sebetulnya di luar sana masih banyak orang yang lebih paham jurnalistik dibanding saya. Anggap saja ini hanya diskusi awal. Istilah buku, baru judulnya. Isinya, nanti bisa diskusi atau belajar dengan orang lain," kata Tonakodi.

"Saat kami belajar di kampus, ada teman bilang sekarang ini tidak ada lagi wartawan yang independen. Sulit menemukan wartawan idealis. Seperti lagu Rhoma Irama, yang haram saja susah, apalagi yang halal. Bagaimana menurut Tonakodi?" tanya Adrian, mahasiswa perguruan tinggi Islam.

"Tonakodi, tabe. Ada juga orang yang mengaku wartawan bilang, saat ini etika nomor sekian, yang penting ada pemasukan," Lulu menambah daftar pertanyaan.

Tonakodi tersenyum mendengar semangat mahasiswa menembakkan peluru pertanyaan berentetan.

"Baik. Kita mulai satu-satu. Pelan-pelan saja," ujar Tonakodi.

Perlu dipahami, wartawan itu tugasnya mengabarkan, menyampaikan pesan. Tugasnya mencari, memperoleh, memiliki, mengolah, menyimpan, dan pada ujungnya menyampaikan informasi demi kepentingan publik. Sebuah tugas mulia memenuhi hak informasi masyarakat."

Dalam bahasa arab, penyampai pesan disebut nabi. Sementara dalam bahasa Inggris disebut messenger.

"Bukan bermaksud membandingkan atau menyejajarkan dengan nabi, wartawan perannya mirip dengan nabi atau messenger. Atau katakanlah menjalankan sedikit dari sekian banyak tugas kenabian," lanjut Tonakodi.

Kenapa? Semangat pesan yang disampaikan para nabi dan wartawan sama. Apa? Kebenaran.

Kata kunci berikutnya, para nabi menyampaikan pesan Tuhan dengan bahasa penuh kesantunan, penuh rahmat. Wartawan dalam menyampaikan pesan juga diikat dengan etika. Selain benar, juga harus disampaikan dengan baik dan tanpa iktikad buruk, papar Tonakodi panjang lebar.

"Tapi di luar sana, banyak orang yang mengaku wartawan diduga melanggar etik, nyaman saja. Contohnya, pernah diberitakan di sebuah media wartawan ditangkap karena meminta paksa dan menerima sesuatu. Seingat saya, berita seperti itu sudah berkali-kali muncul di media," sergah Dicky.

"Jangankan wartawan. Dalam sejarah kenabian, ada juga orang-orang yang disebut nabi palsu. Dalam konteks jurnalisme, ada juga wartawan yang tidak menyampaikan informasi dengan benar, tidak beriktikad baik, atau mereka yang memanfaatkan profesi untuk hal-hal yang tidak dibenarkan oleh hukum dan etika," tutur Tonakodi.

"Bagaimana kalau mereka sudah mengantongi sertifikat kompetensi?" tiba-tiba Ami turut menajamkan diskusi.

"Hahaha...saya kira tadi yang bertanya mahasiswa juga," Tonakodi bagara Ami.

Sertifikat kompetensi wartawan bisa dicabut, jika terbukti yang bersangkutan melanggar hukum dan etika jurnalistik.

"Pencabutan sertifikat dan kartu kompetensi wartawan telah diatur dalam Peraturan Dewan Pers tentang Pencabutan Sertifikat dan Kompetensi Wartawan. Jika terbukti melanggar, maka kartu dan sertifikatnya dicabut. Jadi setelah dinyatakan sebagai wartawan kompeten harus benar-benar menjaga marwah profesi wartawan,” ujar Tonakodi.

Soal idealisme, Tonakodi menganalogikan seperti iman.

"Memegang prinsip pasti penuh ujian, sebuah pilihan yang tidak mudah. Seperti iman dalam kita beragama. Kadang iman naik turun. Tapi bagi mereka yang memegang teguh, pada akhirnya bakal mendapat konsekuensi yang membahagiakan. Begitu juga dalam dunia jurnalistik. Mungkin mereka yang menyalahgunakan saat ini aman, nyaman, dan terpenuhi kepentingannya. Tapi ingat, ada pengadilan akhir, pengadilan ilahi. Menjadi wartawan idealis memang berat bagi orang-orang yang terbiasa tidak mematuhi etika. Berat. Seberat orang beriman di akhir zaman, mereka seperti memegang bara api di tangannya, untuk mempertahankan imannya."

"Tapi yakinlah, di antara mereka yang menyalahgunakan profesi, masih banyak wartawan baik. Wartawan yang memegang teguh peraturan perundang-undangan berkaitan dengan pers dan kode etik jurnalistik. Saya berprasangka baik dan berkeyakinan seperti itu," ucap Tonakodi.

Tak terasa, sore menjelang. Angin terus membawa awan berkumpul, berkondensasi, bersiap meredakan kepulan debu yang memayungi kota.

Adrian, Ali, dan kawan-kawan pamit pulang. Tonakodi dan Ami pun bergegas meninggalkan kantor, sebelum hujan menjalankan amanah menyuburkan tanah. ***



Tana Kaili, 3 September 2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kedudukan DPRD Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014

Dewi Themis Menangis

ALIRAN STUDI HUKUM KRITIS (CLS)