Suara Senyap di Balik Demonstrasi

 



Minggu pagi (31/8/2025) usai kegiatan di Cikarang Bekasi, saya kontak teman di Jakarta, Etal, menanyakan kondisi Jakarta.

"Aman mas. Pagi ini kondusif. Biasanya demo mulai jam dua siang hingga malam," sahut Etal.

"Siap, tengkiyu infonya pak lawyer ganteng. Pagi ini saya meluncur ke Jakarta, besok balik ke Palu."

Hari beranjak siang. Saya bersama Ketua DKP PWI Sulteng, Pak Mahmud dan dua kawan asal Manado, menuju Jakarta. 

Semalam dan Senin dinihari, saya mencoba membaca kondisi Jakarta dari sudut rakyat biasa.

Di seputaran jl  Agus Salim, Kebon Sirih, Kwitang, hingga Senen (jalan dan kawasan bukan menunjukkan urutan rute, namun titik-titik di mana saya berbincang) bertemu dengan penjual di warung kopi, Warteg, beberapa orang yang lalu lalang, dan sopir taksi online.



Bertanya pada mereka, apa yang mereka rasakan selama ada aktivitas demonstrasi tanggal 25-30 Agustus.

Petrus, sopir yang mengantar keliling mengaku pendapatannya turun drastis. Biasanya, ia bisa mendapatkan 400 hingga 600 ribu sehari. Malah dalam kondisi ramai, kadang bisa tembus satu juta. 

Dalam tiga hari terakhir, ia hanya mendapat 150 ribu.

"Dari bapak putar-putar, mungkin bisa seratus lebih. Tiga hari ini baru dapat 150. Saya masih harus setoran dan memenuhi kebutuhan keluarga," kata Petrus.

Petrus setuju penurunan pajak dan gaji pejabat yang diserukan demonstran.

"Tapi jangan bakar-bakar. Jangan anarkis. Kalau Jakarta rusuh, ekonomi susah. Orang seperti kami tambah susah."

Pengakuan Petrus, sebangun dengan Edy. Ia malah belum pulang tiga hari terakhir, untuk kejar setoran.

Saat saya menawarkan untuk mengantar ke Bandara Senin dinihari, ia dengan semangat langsung menyanggupinya.

"Siap Bang, ini nomor saya. Hubungi saja. Nanti saya standby jam tiga subuh di depan hotel," ujar Edy antusias, saat bersama-sama menikmati kopi di pinggir jalan.

Lastri, pemilik Warteg mengaku bisa mendapatkan omset 4-5 juta tiap hari. Lima hari aksi di Jakarta dan diteruskan penjarahan oleh kelompok tertentu, membuat omsetnya melorot tajam.

"Kalau empat atau lima juta, saya bisa untung satu atau satu juta lebih. Tiga hari terakhir, paling satu setengah. Hanya kembali modal. Makanya hari ini, masak dikurangi. Kalau ramai, nanti masak lagi," kata Lastri.

Sebenarnya ia setuju dengan tuntutan penurunan pajak dan pemangkasan gaji pejabat.

"Saya ini orang kecil pak. Ikut saja pemerintah. Saya setuju jika pajak diturunkan, syukur-syukur penjual seperti kami tidak kena pajak," pintanya.

Masih ada beberapa orang yang saya ajak berbincang. Suara mereka serupa dengan Petrus, Edy, dan Lastri.

Mungkin saja, jika presiden bertindak lebih cepat menghentikan tunjangan pejabat -bukan hanya DPR, tapi juga pejabat pemerintah dari pusat hingga daerah, penurunan pajak, dan peningkatan subsidi kebutuhan rakyat- sekali lagi mungkin saja-aksi mulia mahasiswa dan buruh tidak akan melebar, dimanfaatkan pihak atau orang tertentu berbuat anarkis dan menjarah. Entahlah. TMU

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kedudukan DPRD Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014

Dewi Themis Menangis

ALIRAN STUDI HUKUM KRITIS (CLS)