Pitutur Luhur: Sepi ing Pamrih Rame ing Gawe
Oleh: Temu Sutrisno/Wakil Sekretaris Paguyuban Kesenian Eko Wandowo Sulawesi Tengah
Nusantara memiliki keunikan cara dalam membangun budaya. Para leluhur, menitip beragam ajaran melalui ujaran kebaikan, pribahasa.
Pribahasa yang berisi petuah kebaikan, dalam budaya Jawa disebut pitutur luhur. Masyarakat Jawa dalam membentuk budi pekerti, karakter, dan budaya, mewariskan banyak pitutur luhur atau nasihat bijak secara turun-temurun. Salah satunya pitutur sepi ing pamrih, rame ing gawe.
Pitutur ini secara lengkap sepi ing pamrih rame ing gawe, banter tan mbancangi dhuwur tan nungkuli. Pitutur ini bukan sekadar rangkaian kata indah, melainkan pedoman etika hidup yang tetap relevan di tengah dinamika modern.
Apa makna pitutur luhur tersebut? Guna memahami pitutur dimaksud, kita dapat memaknai dalam penggalan kata seperti berikut:
Pertama, Sepi ing Pamrih. Secara sederhana dapat diartikan, bekerja secara tulus tidak mengutamakan kepentingan pribadi, melainkan mengedepankan kepentingan bersama.
Filosofi ini mengajarkan keikhlasan dalam bekerja dan berbuat, tanpa berharap imbalan yang berlebihan.
Dalam konteks spiritual, sepi ing pamrih juga berarti menjauhkan diri dari sifat loba atau serakah.
Di era kekinian yang penuh persaingan ketat, setiap orang mengedepankan keinginan dan kepentingan pribadi, sikap sepi ing pamrih menumbuhkan etos kerja yang jujur, mendorong budaya kerja kolektif, dan menekan individualisme berlebihan yang sering merusak keharmonisan.
Kedua, Rame ing Gawe diartikan giat bekerja, tekun, dan tidak malas.
Pitutur ini menekankan pentingnya kontribusi nyata daripada sekadar berbicara. Orang yang “rame ing gawe” adalah mereka yang hadir dengan karya, bukan hanya wacana.
Perkembangan dunia society 5.0 yang mengedepankan kompetensi, inovasi, dan kreatifitas, produktivitas adalah kunci. Semangat rame ing gawe mencerminkan profesionalisme, disiplin, dan komitmen pada kualitas kerja—nilai penting dalam organisasi, perusahaan, maupun komunitas sosial.
Ketiga, pitutur Banter Tan Mbancangi dimaknai cepat dalam bertindak atau bekerja, tetapi tidak menyalip atau merugikan orang lain.
Nasihat ini mengajarkan pentingnya efisiensi dan kecepatan, tetapi tetap dalam koridor etika.Tidak hanya cepat, tetapi juga tertib dan menghormati aturan main.
Di era digital yang serba cepat, banter tan mbancangi sejalan dengan prinsip kompetisi sehat. Boleh maju dan inovatif, tetapi tidak dengan menjatuhkan orang lain, misalnya lewat praktik curang.
Keempat, Dhuwur Tan Nungkuli. Para leluhur masyarakat Jawa menitip pesan pada seluruh anak cucu dan komunitas di mana pun berada, boleh memiliki kedudukan tinggi, tetapi tidak sombong dan tetap rendah hati.
Pitutur ini memiliki makna filosofis menekankan kehormatan sejati bukan diukur dari jabatan, melainkan dari sikap. Menjadi tinggi tanpa merendahkan orang lain adalah esensi kepemimpinan yang arif. Seorang pemimpin yang baik, bukan yang duduk di kursi tinggi kekuasaan, melainkan yang duduk dan berdiri bersama dengan yang dipimpinnya tanpa sekat dan jarak yang menghambat.
Dalam kepemimpinan modern, kualitas seorang pemimpin bukan hanya pada visi dan strategi, tetapi juga sikap rendah hati, empati, dan keterbukaan. “Dhuwur tan nungkuli” adalah prinsip kepemimpinan yang humanis dan egaliter.
Merangkai makna di atas, pitutur luhur “Sepi ing pamrih, rame ing gawe, banter tan mbancangi, dhuwur tan nungkuli” adalah kearifan lokal yang tetap relevan dengan kehidupan manusia sepanjang masa.
Pitutur ini mengajarkan keikhlasan, etos kerja, kecepatan yang beretika, dan kerendahan hati dalam kepemimpinan.
Bila dipraktikkan, pitutur ini dapat menjadi solusi menghadapi problem kehidupan modern yang sering ditandai oleh egoisme, persaingan tidak sehat, dan kepemimpinan yang arogan.
Dengan demikian, pitutur Jawa bukan sekadar warisan budaya, tetapi juga kompas moral bagi masyarakat masa kini dan masa depan. Sebuah pesan para leluhur yang futuristik dan menjangkau lintasan zaman. Wallahu alam bishawab.***
Tana Kaili, 26 September 2025

Komentar
Posting Komentar