Pitutur Luhur: Samya Amituhu
Oleh: Temu Sutrisno/Wakil Sekretaris Paguyuban Kesenian Eko Wandowo Sulawesi Tengah
Di tengah gejolak sosial politik, kondisi ekonomi yang dipenuhi ketidakpastian, dan percaturan global yang sangat dinamis, dibutuhkan kehati-hatian dalam bertindak.
Para leluhur Jawa, sejak dahulu kala telah memberikan ancer-ancer, sebuah pitutur bagi anak cucunya menghadapi pergolakan yang tidak menentu, sebuah dinamika mengarah pada kekacauan. Dalam istilah Jawa disebut kalabendu.
Pitutur tersebut berbunyi "den samya amituhu, ing sadjroning zaman kalabendu, Yogya samya nyenyuda ardaning ati, kang anuntun mring pakewuh, uwohing panggawe awon.”
Untuk memudahkan pemahaman terhadap ukara bijak ini, dapat dibagi dalam empat tembung atau kelompok kalimat.
Pertama, den samya amituhu. Tembung ini mengandung makna bahwa manusia hendaknya berhati-hati, waspada, dan mawas diri dalam bertindak. Kata amituhu menunjuk pada sikap eling lan waspada, yakni tidak gegabah dalam mengambil keputusan.
Kedua, tembung ing sadjroning zaman kalabendu, berarti masa penuh kekacauan, krisis, penderitaan, atau masa di mana nilai-nilai kebaikan mulai luntur. Secara filosofis, bentuk pengakuan bahwa kehidupan manusia tidak selalu berada di jalan yang mulus, melainkan ada masa ujian dan kesulitan.
Ketiga, yogya samya nyenyuda ardaning ati, menitip pesan agar manusia menenangkan batin, menata hati, dan mengendalikan emosi, hawa nafsu. Para leluhur mengingatkan keteguhan hati dan kebeningan pikiran menjadi kunci untuk mengendalikan nafsu dan bertahan di tengah badai kehidupan.
Keempat, kang anuntun mring pakewuh, uwohing panggawe awon, berisi petuah bila hati dan tindakan tidak dijaga, maka manusia akan mudah terjerumus dalam kesusahan yang berasal dari perbuatan buruknya sendiri. Wejangan ini menasihatinya generasi lintas zaman, bahwa setiap penderitaan sering kali merupakan buah dari perilaku yang salah. Hati yang bersih akan menuntut manusia kepada perbuatan yang luhur, tidak terjerumus menuju jalan penuh kehancuran.
Secara menyeluruh, pitutur ini menekankan pentingnya kewaspadaan, pengendalian diri, dan kebersihan hati agar manusia tidak terjebak dalam akibat buruk pada masa penuh ujian.
Contoh sederhana pitutur ini dalam kehidupan, misalnya seseorang yang menghadapi tekanan politik dan ekonomi (zaman kalabendu) memilih untuk tetap bekerja keras dengan jujur, meski sulit. Ia tidak tergoda jalan pintas untuk korupsi atau menipu orang lain, karena sadar setiap tindakan buruk akan berbuah penderitaan.
Di tengah maraknya hoaks dan ujaran kebencian di media sosial, seseorang memilih amituhu. Mengedepankan sikap waspada dan menahan diri, tidak mudah menyebarkan kabar bohong, serta menata hati agar tidak mudah terbawa amarah. Dengan demikian, ia terhindar dari konflik, permusuhan, dan mencabik tenun persatuan antarkelompok masyarakat.
Secara spiritual, pitutur ini bisa menjadi pegangan seorang pemimpin menghadapi perpecahan di antara sesama. Ia memilih nyenyuda ardaning ati, menahan murka, menata hati dengan sabar, ikhlas, terbuka menerima kritik dan saran, serta merangkul para pihak berpartisipasi dalam menjalankan beragam program dan kegiatan.
Saat ini, di tengah derasnya arus digital, berita palsu, dan manipulasi, kita butuh sikap amituhu agar tidak mudah terjebak dalam keburukan yang membawa penderitaan. Sikap amituhu, akan mengurangi krisis moral sebagai efek negatif zaman digital yang mengabaikan batasan etika dan mendewakan kebebasan. Sikap amituhu mengarahkan orang bisa memilih dan memilah informasi bermanfaat dan menyingkirkan informasi sesat.
Nasihat ini juga menjadi pegangan yang kuat untuk menghadapi pandemi, krisis moral, ketimpangan ekonomi, hingga perubahan iklim yang merupakan wajah kalabendu modern.
Pitutur Jawa ini mengingatkan bahwa ketenangan batin dan pengendalian diri adalah kunci bertahan menghadapi situasi sulit. Banyak permasalahan seperti korupsi, penyalahgunaan narkoba, perilaku konsumtif berlebihan, sikap suka pamer-flexing, dan kerusakan lingkungan sesungguhnya adalah uwohing panggawe awon, buah dari tindakan buruk manusia sendiri.
Ukara bijak ini sejatinya bukan hanya relevan untuk masyarakat Jawa tempo dulu, tetapi juga menjadi pedoman penting di era modern yang penuh tantangan moral, sosial, dan global.
Pitutur den samya amituhu, ing sadjroning zaman kalabendu, Yogya samya nyenyuda ardaning ati, kang anuntun mring pakewuh, uwohing panggawe awon, menjadi pengingat agar kita tidak ikut menambah beban zaman dengan pikiran, sikap, dan perilaku keliru. Wallahu alam bishawab.***
Tana Kaili, 1 Oktober 2025


Komentar
Posting Komentar