Pitutur Luhur: Marsudi Ajining Sarira
Oleh: Temu Sutrisno/Wakil Sekretaris Paguyuban Kesenian Eko Wandowo Sulawesi Tengah
Sunan Kalijaga, salah satu tokoh Wali Sanga (biasa ditulis wali songo) yang dikenal bijaksana, meninggalkan banyak pitutur luhur yang relevan sepanjang zaman. Salah satu ajaran pentingnya adalah Marsudi Ajining Sarira, yang berarti menjaga dan menghargai martabat diri.
Ajaran dalam bentuk pitutur ini mengingatkan bahwa sebelum mengenal orang lain, manusia harus terlebih dahulu mengenal dirinya sendiri, menghargai keberadaannya, lalu menebarkan penghargaan itu kepada sesama.
Secara harfiah, “marsudi” berarti berusaha dengan sungguh-sungguh, sedangkan “ajining sarira” bermakna harga diri atau martabat manusia. Dengan demikian, nasihat ini mengandung pesan agar manusia senantiasa berusaha memelihara martabat dirinya.
Dalam pandangan masyarakat Jawa, harga diri tidak hanya dilihat dari penampilan ragawi, kekuasaan, atau kekayaan. Martabat seseorang dinilai dari sikap, ucapan, dan tindakannya. Orang yang memahami ajining sarira akan sadar akan potensi serta keterbatasannya. Ia mampu menempatkan diri secara bijak dalam pergaulan dan sektor kehidupan lainnya.
DIMENSI AJINING SARIRA
Nasihat Marsudi Ajining Sarira, setidaknya memiliki tiga dimensi dalam pemaknaannya. Pertama, mengenal diri sendiri. Manusia yang mengenal dirinya dengan baik, akan dengan mudah mengetahui kelebihan dan kekurangan. Kemampuan mengenal potensi diri, akan mendorong seseorang menyadari perannya sebagai makhluk Tuhan dan bagian dari masyarakat.
Pengenalan diri sebagai hamba Tuhan dan peran sosial, mendorong rasa syukur dan sikap positif penuh keikhlasan dalam menjalani kehidupan.
Kedua, Menghargai diri sendiri. Bagi seseorang yang memahami makna ajining sarira, akan berusaha dan senantiasa menjaga kehormatan dirinya dengan akhlak yang baik. Ia tidak merendahkan martabat dirinya melalui perilaku buruk, seperti dusta, korupsi, mengumbar kebencian atau kemewahan (flexing).
Sunan Kalijaga juga menekankan pentingnya membangun kepercayaan diri yang sehat tanpa kesombongan, iri, dan dengki.
Ketiga, menghargai orang lain. Ajining sarira juga mengarahkan seseorang untuk menjunjung nilai tepa selira (tenggang rasa), menerapkan sikap andhap asor (rendah hati) dalam interaksi sosial, dan menjaga kerukunan dengan menghormati perbedaan.
RELEVAN SEPANJANG ZAMAN
Ajaran marsudi ajining sarira tetap aktual hingga kini. Bahkan di era modern yang penuh dinamika dan serba permisif.
Dalam praktiknya, ajaran ini menuntun seseorang terus mengembangkan diri. Sekadar contoh, dalam dunia kerja dan pendidikan, mengenal diri sendiri membantu seseorang memilih jalan yang sesuai dengan bakat dan minatnya, sehingga lebih produktif.
Pitutur ini juga menjadi pintu bagi kesehatan mental. Menghargai diri berarti tidak membiarkan diri terjebak dalam perasaan rendah diri atau kehilangan jati diri di tengah tekanan sosial dan tuntutan zaman.
Dengan menghargai diri, seseorang lebih mudah menghargai orang lain, sehingga tercipta hubungan yang harmonis, baik dalam keluarga, masyarakat, maupun dunia digital.
Di era digital dan massifnya gelombang informasi media sosial, ajaran ini menjadi panduan agar tidak sembarangan berkata atau bertindak. Orang yang sadar martabat dirinya akan lebih bijak dalam menyampaikan pendapat tanpa merendahkan orang lain. Pitutur ini bisa menjadi salah satu standar etika digital.
Nasihat Sunan Kalijaga Marsudi Ajining Sarira mengajarkan bahwa martabat manusia terletak pada kesadaran diri dan akhlak mulia. Dengan mengenal, menghargai, dan menjaga diri sendiri, manusia akan mampu menghargai sesamanya, menciptakan harmoni, dan hidup dengan penuh makna. Secara spiritual, pitutur ini juga akan mendekatkan seorang hamba dengan Tuhannya, sebagaimana ajaran agama: siapa mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya.
Pitutur Sunan Kalijaga ini bukan sekadar warisan budaya Jawa, tetapi juga nilai universal yang dibutuhkan di segala zaman. Wallahu alam bishawab. ***
Tana Kaili, 27 September 2025

Komentar
Posting Komentar