Pitutur Luhur: Handarbeni, Hangkrukebi, Mulat Sarira Hangrasawani
Oleh: Temu Sutrisno/Wakil Sekretaris Paguyuban Kesenian Eko Wandowo Sulawesi Tengah
Sejak Indonesia diproklamirkan para founding father hingga kini, dinamika politik berupa suara kritis dan ketidakpuasan tak kunjung berhenti.
Terbaru, aksi akhir Agustus yang menyuarakan protes kemewahan pejabat, pajak yang kian mencekik, dan lapangan kerja makin menyempit berujung rusuh dan penjarahan. Gerakan moral mahasiswa ternoda oleh kelompok anarkistis yang memanfaatkan suasana.
Prilaku pejabat yang hidup dalam kemewahan, ujub, dan suka pamer (Flexing), jauh hari sudah diingatkan para bijak.
Raden Mas Said atau Pangeran Samber Nyawa bergelar Sri Mangkunegara I, menitip konsep kepemimpinan Tri Darma untuk para pemimpin rakyat dan pejabat secara umum. Bahkan konsep ini juga dimaknai sebagai pijakan menyatunya raja-kawula, pemimpin dengan yang dipimpin.
Sri Mangkunegara I memberikan ugeman Rumangsa handarbeni, melu hangkrukebi, mulat sarira hangrasawani. Pitutur luhur yang sarat makna etika dan spiritualitas kepemimpinan.
Handerbeni dalam pendekatan bahasa, dimaknai memiliki atau merasa memiliki. Secara filosofis, seorang pemimpin harus memiliki rasa kepemilikan terhadap amanah dan tanggung jawab yang diemban, bukan sekadar jabatan formal. "Memiliki" di sini bukan berarti menguasai, melainkan menjiwai dan merawat kepentingan bersama seolah miliknya sendiri.
Dalam manajemen politik kekinian, pemimpin yang "handerbeni" akan merasa bahwa rakyat, organisasi, dan negara adalah tanggung jawab yang melekat pada dirinya.
Kesadaran seperti itu akan membuat seorang pemimpin berorientasi pelayanan (servant leadership), bukan mengejar keuntungan pribadi, keluarga, dan kelompoknya. Ia menyadari, amanah yang diembannya untuk melayani seluruh rakyat. Bukan sebaiknya, minta dilayani rakyat.
Dalam praktik politik, ini berarti mengutamakan kesejahteraan rakyat, bukan hanya kepentingan partai atau keluarga dan kelompok.
Hangkrukebi artinya menjaga, melindungi, mengayomi. Maknanya, pemimpin sejati harus mengayomi, melindungi bawahannya dari kesulitan, memberikan rasa aman, dan memastikan keadilan berjalan di atas semua golongan.
Pemimpin pemerintahan di semua level, harus menciptakan sistem yang melindungi rakyat dari ketidakadilan, kemiskinan, dan ancaman.
Dalam manajemen modern, hal ini serupa dengan membangun budaya kerja inklusif yang menjaga kesejahteraan karyawan.
Dalam politik, pemimpin yang "hangkrukebi" akan berdiri di garis depan melawan korupsi, diskriminasi, dan eksploitasi, sekaligus menjaga martabat bangsa dan negara.
Mulat Sarira Hangrasaweni diartikan selalu mawas diri, peka terhadap perasaan dan penderitaan atau kesulitan orang lain.
Secara filosofis pitutur ini mengandung makna seorang pemimpin harus memiliki empati, mampu merasakan apa yang dirasakan rakyat atau bawahannya. Dengan demikian, keputusan yang diambil tidak hanya rasional, tetapi juga berhati nurani, sesuai kebutuhan dan kepentingan rakyat.
Pemimpin politik perlu memiliki sense of crisis, bisa memahami penderitaan rakyat ketika harga kebutuhan pokok naik, ketika terjadi bencana, atau ketika rakyat mengalami kesulitan ekonomi. Pemimpin harus turun memberikan solusi, bukan sebaliknya duduk manis di kursi kekuasaan, menaikkan pajak untuk memenuhi keinginannya, dan tidak peduli pada tuntutan rakyat yang terjepit ekonominya.
Dalam manajemen organisasi, prinsip serupa dengan empathy leadership. Kepemimpinan yang mau mendengar aspirasi bawahan, peduli pada kesehatan mental, dan mendukung pengembangan diri.
Dalam politik dan pemerintahan, pitutur sarira hangrasaweni mendorong pemimpin untuk turun ke akar rumput, mendengar suara rakyat, dan mengambil kebijakan berbasis kebutuhan nyata, bukan sekadar pencitraan.
Jika dipadukan, tiga pitutur ini membentuk etika kepemimpinan yang ideal. Handerbeni, rasa tanggung jawab penuh. Hangkrukebi melindungi dan mengayomi, serta sarira Hangrasaweni berempati dan berkeadilan. Sri Mangkunegara I melalui Tri Darma, menunjukkan jalan bagi anak cucu Nusantara, untuk menjadi pemimpin yang bertanggung jawab, melindungi, bijak, adil, dan satu barisan bersama rakyat.
Mengacu pada konteks pemerintahan modern, ini selaras dengan konsep good governance and accountability (handerbeni), responsibility and protection (hangkrukebi), emphaty and participation (hangrasawani).
Jadi, pitutur luhur Jawa ini tetap relevan di era sekarang karena bisa menjadi landasan etika politik untuk melahirkan pemimpin yang berintegritas, humanis, dan visioner. Sekiranya semua pemimpin dan pejabat memahami dan menjalankan Tri Darma ini, gejolak politik nasional bisa ditekan, sikap anarkistis tidak akan muncul sebagai anak haram kebebasan dalam sistem demokrasi. Wallahu alam bishawab. ***
Tana Kaili, 28 September 2025

Komentar
Posting Komentar