Pitutur Luhur: Tunggak Jarak Mrajak Tunggak Jati Mati

Oleh: Temu Sutrisno

(Wakil Sekretaris Paguyuban Kesenian Eko Wandowo Sulawesi Tengah)



Hidup adalah perjuangan. Bukan sebaliknya, berjuang untuk sekadar hidup.Perjuangan menyaratkan sikap gigih dan pantang menyerah. Siapapun dan apapun latar belakangnya, seseorang dapat menggapai kesuksesan, duduk pada posisi yang diidamkan jika dibarengi etos perjuangan dan sikap istiqamah.

Temujin dan Cyrus menjadi dua contoh anak yang tumbuh dalam perjuangan, sebelum akhirnya membentuk imperium Mongolia dan Kekaisaran Persia. Keduanya adalah dua bocah yang tumbuh berjuang tanpa privilege orang tua.

Temujin menjelma menjadi Genghis Khan dan Cyrus dinobatkan sebagai Kisra Achaemenia-Persia dengan sebutan Cyrus yang Agung (Cyrus The Great) bukan tiba-tiba. Mereka menguasai hampir setengah dunia dengan jejak perjuangan yang panjang. Bukan dengan cara-cara instan seperti anak muda kekinian.

Dalam sejarah Nusantara, hal yang sama juga dilakonkan Ken Arok. Putra Ken Endok yang dibuang karena hasil hubungan sejoli tanpa surat resmi. Ia berhasil mendirikan kerajaan Singasari.

Raja bergelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi ini, bahkan jauh sebelum memperistri Ken Dedes dan merebut kekuasaan Tumapel dari tangan Tunggul Ametung, mengelana menjadi garong. Ia juga menjalani hidup sebagai pengalasan, yang menggantungkan hidupnya dari hasil hutan (alas). Sebuah perjalanan hidup dari nol, menuju singgasana puncak kekuasaan. Dari bukan siapa-siapa menjadi penentu nasib banyak manusia, from zero to hero.

Kisah Temujin, Cyrus, dan Ken Arok, tergambar dalam pitutur luhur budaya Jawa, Tunggak Jarak Mrajak Tunggak Jati Mati.

Pitutur ini jika diterjemahkan secara bebas kurang lebih bermakna, pohon jarak tumbuh tunas banyak, pohon jati mati (sulit tumbuh kembali).

Pitutur ini menyiratkan bahwa keturunan orang biasa, seperti pohon jarak yang mudah tumbuh tunas, bisa mencapai kesuksesan. Sementara keturunan orang kaya, pengusaha, atau pejabat yang selalu 'menjual' nama besar orang tua atau komunitasnya, digambarkan seperti pohon jati yang sulit tumbuh lagi setelah ditebang. Orang seperti itu mudah terjatuh dan mengalami kemunduran saat sandarannya hilang.

Pitutur tunggak jarak mrajak tunggak jati mati, mengajarkan bahwa nasib seseorang tidak selalu ditentukan oleh latar belakang keluarganya atau status sosial dan komunitasnya 

Keturunan orang biasa, jika memiliki semangat juang dan kemauan untuk belajar serta bekerja keras, bisa mencapai kedudukan tinggi. Sebaliknya, keturunan orang kaya atau pejabat, jika tidak memiliki semangat juang dan hanya mengandalkan nama orang tua plus kekuatan komunitas, bisa jatuh dalam keterpurukan.

Pitutur luhur tunggak jarak mrajak tunggak jati mati, menjadi pengingat bagi masyarakat untuk tidak meremehkan siapapun, dan juga menjadi motivasi bagi orang-orang dari kalangan biasa untuk terus berusaha mencapai kesuksesan. Sebaliknya, orang-orang yang berada di posisi tinggi juga diingatkan untuk tidak lengah dan terus menjaga semangat juang. 

MAKNA LAIN

Pitutur ini selain memiliki makna filosofis seperti di atas, juga memiliki arti lain dalam memandang fenomena sosial. Tunggak jarak mrajak tunggak jati mati juga dimaknai, keburukan merajalela dan kebaikan tinggal sedikit.

Di sepanjang rentetan sejarah kehidupan, akan selalu muncul masa di mana keburukan tumbuh subur. Dalam konteks peradaban Nusantara, hari ini beragam wajah keburukan menghiasi kehidupan.

Kasus kejahatan serius seperti korupsi, transaksi obat-obatan terlarang, manipulasi hukum, transaksi jabatan, dan beragam pat gulipat antara aktor ketidakbaikan menjadi tontonan. Kejahatan seakan menjadi kewajaran. Mendobrak tatanan, lazim dipraktikkan.

Pitutur tunggak jarak mrajak mengingatkan, bahwa kejahatan, keburukan, ketidakadilan, dan wajah ketidakbaikan lainnya mudah tumbuh subur. Olehnya para leluhur mengingatkan jangan sampai pohon jati mati, jangan menjadi tunggak yang sulit tumbuh kembali. Bagaimanapun suluh kebenaran dan panji kebaikan harus terus ditegakkan.

Pada akhirnya pitutur luhur ini dalam paktiknya harus bertalian dengan prinsip Cakra manggilingan. Kehidupan itu dinamis seperti roda yang berputar. Orang yang bijak tidak terbang tinggi ketika dipuji, tidak terhempas saat dimaki. Seorang kesatria diingatkan untuk berjuang menapak jalan kebenaran, meniti jembatan kebaikan, menebar perdamaian, senantiasa mengingat dan ngugemi perintah Tuhan. Wallahu alam bishawab. ***


Tana Kaili, 5 Juli 2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dewi Themis Menangis

Kedudukan DPRD Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014

ALIRAN STUDI HUKUM KRITIS (CLS)