Menabur Kasih Sayang
Oleh: Temu Sutrisno
Pagi menjelang salat Jumat, semilir angin dingin pengaruh aphelion terasa di kampung Tonakodi. Daerah di pinggiran katulistiwa yang biasanya membara, sedikit lebih sejuk.
Seperti biasa, saban hari Jumat Tonakodi memilih beraktivitas di rumah, dari pagi hingga tengah hari menjelang salat.
Menunggu bacaan salawat dan tahrim menggema dari masjid dekat rumahnya, Tonakodi yang telah mandi dan berpakaian bersih menyempatkan membaca buku.
Tiba-tiba handphone di meja berdering, membuyarkan konsentrasi Tonakodi melahap bukunya.
"Assalamualaikum Om Uchen. Perintah?" kata Tonakodi mengangkat handphone.
"Waalaikumsalam. Tabe le, bukan baparentah. Tonakodi ada waktu habis salat Jumat le?" tanya Om Uchen di sambungan handphone.
"Siap. Nada-nadanya, Om Uchen mo baundang ngopi ee," tukas Tonakodi.
Tahrim di masjid berkumandang. Sesaat lagi azan segera dilantunkan.
Tonakodi menutup telponnya, bergegas ke masjid dekat rumahnya.
Hari itu, khatib menyampaikan khutbah yang menguras emosi Tonakodi. Tak terasa air matanya menetes.
"Jika kita melihat seorang anak berbakti terhadap orang tuanya, jangan tanyakan sebabnya mengapa ia berbakti, karena bakti adalah kewajiban anak. Tetapi bertanyalah kepada orangtuanya, kebaikan apa yang dulu telah ia lakukan kepada orangtuanya?" kata khatib dari atas mimbar.
Sering kali kita terpukau melihat seorang anak yang begitu tulus dan penuh kasih dalam berbakti kepada orang tuanya. Kita mungkin bertanya-tanya, apa yang membuatnya begitu peduli, begitu hormat, dan begitu setia kepada mereka yang telah melahirkannya? Namun, pertanyaan yang lebih bijak bukanlah "mengapa ia berbakti demikian", melainkan "kebaikan apa yang telah orang tuanya tanamkan sejak dulu?"
Angan Tonakodi sejenak terbang ke masa kecil. Mengingat segala kebaikan dan kasih sayang kedua orang tua yang telah menghadap ilahi.
"Anak adalah cerminan dari bagaimana ia dibesarkan. Kasih sayang yang ia curahkan adalah gema dari kasih sayang yang pernah ia terima. Pengorbanannya adalah balasan dari pengorbanan yang telah ia saksikan. Maka, jika engkau melihat anak yang berbakti, lihatlah orang tuanya. Pahami nilai yang telah mereka tanamkan, bagaimana cinta dan kasih sayang tumbuh dalam keluarga itu," ulas khatib.
Berbakti bukan sekadar kewajiban, tetapi warisan dari teladan yang diberikan orang tua.
Anak yang mulia dan memuliakan orang tua adalah buah dari pohon yang dirawat dengan penuh cinta.
"Jangan heran melihat anak berbakti. Kita mestinya heran, jika orang tua tak pernah menabur kasih, namun berharap memanen kesetiaan. Kita telah diberikan contoh, betapa Nabi Ibrahim tak pernah berhenti melantunkan doa Rabbi habli minashalihin. Rabbiij'al haadzal balada aaminan wajnubni wa baniyya an na'budal ashnaam. Doa ini menunjukkan betapa Beliau sangat mencintai, mengasihi, menyayangi keturunannya, bahkan yang belum beliau saksikan dan lahir ratusan tahun kemudian. Contoh sebuah kasih sayang yang tak terbatas untuk anak cucu," khatib menegaskan pentingnya kasih sayang dalam membina rumah tangga dan membesarkan anak.
Nabi Ibrahim juga berdoa agar diberikan keturunan berbakti, yang menyenangkan hati, menyejukkan jiwa.
Rabbaba hablana min azwaajiinaa wa dzuriyatinaa qurrata a'yunin waja'alnaa lol muttaqiiinaa imaamaa.
Tonakodi makin terpekur. Ia mengangkat kedua tangannya, Rabbanaghfir lii waliwaalidayya walilmu'miniina yauma yaquumul hisaab.
Usai salat Jumat, Tonakodi segera menuju kantor organisasi yang menjadi tempat mereka ngumpul selama ini.
Di pelataran gedung, telah menunggu Om Uchen, Ami, Uly, dan beberapa kolega lainnya.
"Mau kemana kita Om Uchen, le," tanya Tonakodi sembari memarkir motor bututnya.
"Mari jo, ikut saja. Nanti Tonakodi tahu juga," jawab Om Uchen tersenyum penuh teka-teki.
Tujuh sahabat segera naik ke mobil. Lantunan lagu Pance Pondaag kesukaan Om Uchen mengiringi perjalanan siang itu.
Sekira lima belas menit berkendara, mobil berhenti di sebuah bangunan. Tertulis di depan pagar, panti asuhan.
Setelah turun, Om Uchen membuka pintu kabin bagian belakang.
Ia mulai mengeluarkan bungkus nasi. Sekira seratus dos di bawa masuk ke panti asuhan.
Anak-anak panti telah berkumpul duduk melingkar di Musala, tempat mereka belajar dan beribadah.
Sebelum makan bersama, Om Uchen menyampaikan tujuan silaturahmi ke panti asuhan.
Hal yang membuat terharu Tonakodi dan kawan-kawan, makan siang bersama anak panti merupakan kesyukuran Om Uchen yang hari itu berulang tahun.
Berbagi berkah dan menebar kasih sayang bersama anak-anak panti menjadi pembeda ulang tahun Om Uchen dan kebanyakan orang. Mereka berpesta penuh kemewahan saat merayakan ulang tahun.
Banyak orang makan-makan dan pesta mewah sebagai kesenangan. Sementara ada orang sekadar bisa makan, sudah merupakan kemewahan yang menyenangkan.
Terima kasih khatib, terima kasih Om Uchen. Hari ini kembali mengingatkan kami makna berbagi, arti cinta dan kasih sayang. ***
Tana Kaili, 11 Juli 2025
Komentar
Posting Komentar