Genggaman Cinta Saat Tsunami Menggulung



Oleh: Temu Sutrisno

Sore, 28 September 2018 menjadi pembuktian cinta Karlan Ladandu pada istrinya Ni Putu Darmawati. Sore itu, Karlan dan Wati mampir ke pantai seputaran anjungan Palu Nomoni atau lebih dikenal dengan sebutan Kampung Kaili.
Keduanya mencari es kelapa muda di Soki-soki, usai pertemuan dengan teman-temannya dari pergerakan buruh. Kebetulan hari itu, Wati ulang tahun. Kesempatan ke Palu dimanfaatkan Karlan untuk jalan-jalan berdua.
Kedua pasangan paruh baya itu, memilih lapak penjual kelapa muda di dekat musala yang baru dibangun Pemerintah Kota Palu. Belum usai minum, bumi bergetar hebat. Wati panik dan mengajak Karlan meninggalkan tempat. Air laut mulai naik hingga mata kaki.
“Tsunami Pa. Cepat sudah, anak-anak di rumah. Aduh gimana mereka?” kata Wati.
“Tenang, cuma air pasang naik itu,” ujar Karlan sambil terus menyerutup es kelapa muda.
Istrinya terus-menerus meminta Karlan segera beranjak dari tempat duduknya. Melihat istrinya panik, Karlan segera membayar es kelapa mudanya.
Belum sempat mengambil motor di tempat parkir, suara gemuruh gelombang air laut terdengar. Wati makin panik. Karlan yang biasanya berjalan lambat, setelah tertabrak motor tahun sebelumnya, tiba-tiba seperti punya kekuatan untuk lari.
Karlan memegang tangan kiri Wati dan berlari ke arah oprit Jembatan IV. “Jangan kesana Pa. Tsunami. Ke (gedung Direktorat) Lantas saja,” ajak Wati.
Karlan menuruti saran istrinya. Mereka berdua lari ke arah belakang bangunan Direktorat Lantas Polda Sulteng, yang tidak jauh dari pantai.
Sampai di belakang gedung, banyak orang berdesakan. Karlan melihat motor patroli Satlantas parkir. Ia segera menuju motor dan berpegangan di motor itu. Tangan kanannya tetap memegang tangan kiri istrinya. Genggaman kuat penuh cinta. Karlan tak ingin terpisah dengan Wati istrinya, dalam situasi maut itu.
Gemuruh suara air mendekat dan tiba-tiba dalam hitungan detik, braakkk. Gelombang menggulung menutup gedung Direktorat Lantas. Tangan Karlan terlepas dari motor patroli. Di tengah gulungan ombak dan lumpur tsunami, kesadaran Karlan terjaga. Tangannya terus menggenggam tangan istrinya. Keduanya bersama tergulung ombak diantara sekian banyak orang yang berada di belakang gedung, diantara puing bangunan, mobil, motor, dan kayu yang berserakan.
Karlan terus menutup mata dan mulutnya. Hanya istighfar dan lantunan Laillahailallah memenuhi hatinya. Ia pasrah. Tangannya terus menggenggam tangan istri tercinta.
Beberapa menit kemudian air surut. Karlan bangun dan membersihkan lumpur tsunami di badannya. Ia membantu istrinya membersihkan lumpur dari wajah dan mulutnya. Istrinya terus menangis, ingat anak-anak mereka di rumah.
Karlan kembali menggandengan tangan Wati, istrinya. Keduanya mencoba mencari jalan keluar dari area gedung Direktorat Lantas. Sebagian orang menj gedung Kantor Dinas Perikanan Sulteng. Karlan memilih lewat STIMIK Adhiguna. Saat kaki menginjak tangga gedung STIMIK Adhiguna di belakang Direktorat Lantas, gelombang kedua datang. Kali ini lebih besar dari yang pertama. Karlan dan istrinya belum sampai ke lantai dua STIMIK Adhiguna. Kembali keduanya dihantam gelombang tsunami.
Aktivis buruh ini limbung, terguling. Kembali tergulung ombak. Istrinya ikut terhempas. Karlan kembali harus menahan nafas. Ia menutup mulut dan matanya. Gelombang mengombang-ambingkan dirinya. Ia tidak lagi tahu berapa kali terbentur, berapa banyak badannya terhantam material bawaan tsunami. Hanya istighfar dan kalimat Laillahailallah menggelayuti hati dan pikirannya. Keduanya tetap berpegangan tangan. Tersadar air surut, Karlan membuka matanya. Keduanya berada dalam ruang gelap.
Karlan meraba-raba. Dia merasakan tertindis sebuah kotak kayu. Setelaha mencoba mendorong berkali-kali, akhirnya kotak bergeser. Karlan dan istrinya terperangkap di bawah kotak dan material bawaan tsnami di belakang Kantor Badan Lingkungan Hidup yang tepat berada di belakang STIIK Adhiguna. Setelah berhasil keluar, Karlan mengulurkan tangannya membantu istrinya keluar dari timbunan lemari dan lumpur.
“Kami tidak tahu, bagaimana bisa tertindis kotak. Setelah keluar, ada yang minta tolong dari lemari yang sama. Mungkin dua atau berapa orang yang tertindis material bawaan tsunami itu,” kenang Karlan.
Setelah merasa air benar-benar surut, Karlan dan istrinya perlahan-lahan menuju jalan Undata, belakang kantor TVRI Sulteng.
“Malam berangsur gelap. Jalan licin karena lumpur dan banyak material terbawa gelombang tsunami. Kami urungkan niat lewat belakang TVRI,” katanya.
Karlan balik arah ke Jalan Raja Moili dan selanjutnya menuju Jalan Hayam Wuruk. Di sepanjang jalan banyak orang, baik korban maupun mereka yang hendak menolong. Karlan terus berlalu, istrinya terus menangis. Di sela-sela istighfar, istri Karlan terus meratap mengingat anak-anaknya di rumahnya, di Kelurahan Baiya.
“Ya Allah, bagaimana sudah dorang di sana. Ya Allah semoga anak-anakku selamat, tidak apa-apa,” doa Wati.
“Tenang saja. Insya Allah mereka bisa bawa diri. Saya yakin mereka di masjid,” hibur Karlan pada Wati, Istrinya. Ya, anak-anak Karlan dan Wati tiap maghrib biasa sembahyang di masjid dekat rumah mereka tinggal.
Sampai di Jalan Hayam Wuruk, Karlan mampir di sebuah rumah yang ada kran air di depannya. Ia buka baju dan memerasnya. Ia juga membersihkan lumpur dari wajah dan badannya.
“Ibu, kita singgah ke rumahnya Opu di Jalan Suharso,” ajak Karlan pada istrinya. Opu adalah panggilan akrab teman Karlan, H. Darlis Muhammad wartawan senior pensiunan Tempo, yang tinggal tidak jauh dari bibir pantai. Jaraknya sekira 200 meter.
“Tak usah Pa. Ke rumah mama saja di Yojokodi. Masih takut saya le, dekat pantai,” sambung Wati trauma.
Melihat istrinya terus ketakutan ditambah biru lebam seluruh tubuh, Karlan mengikuti ajakan istrinya. Keduanya terus bergandengan tangan berjalan menuju Jalan Yojokodi.
Sepanjang jalan, Wati terus memanjatkan doa untuk keselamatan anak-anaknya. Jalan yang hanya berjarak sekira satu kilo meter terasa jauh. Beban pikiran, kota gelap tanpa penerangan dan kaki Karlan yang pernah patah dihantam motor, membuat perjalanan terasa panjang. Satu jam lebih, kedua suami sitri itu baru sampai Jalan Yojokodi.
Sampai di Yojokodi, mereka kaget. Jalan di depan lorong menuju rumah orang tua Wati retak terbelah. Buru-buru keduanya masuk lorong dan menuju rumah. Alhamdulillah semua selamat.
Di rumah orang tua Jalan Yojokodi, tidak membuat Wati tenang. Ia terus memikirkan anak-anaknya. Akhirnya setelah membersihkan diri, keduanya meneruskan perjalanan ke Baiya dengan jalan kaki.
Di tengah gelap Kota Palu dan alat komunikasi yang terputus, Karlan dan Wati menyusuri pelan-pelan jalan S Parman, Setia Budi dan Tombolotutu. Perjalanan dilanjutnkan dengan menyusuri Jalan Soekarno-Hatta. Kendaraan dan orang lalu lalang mengungsi melalui jalan itu. Tidak ada tegur sapa, semua orang panik dan berusaha menyelamatkan diri dan keluarganya. Semua orang menuju arah perbukitan di sekitaran Jalan Soekarno-Hatta.
Dua jam Karlan dan Wati berjalan perlahan di sepanjang Jalan Soekarno-Hatta. Sekira tiga kilometer, tepatnya di depan Kantor Polda Sulteng yang baru, sebuah mobil angkutan kota lewat. Sang sopir mengenal Karlan. Karlan salah satu langganannya yang hampir tiap hari menumpang dari Baiya ke Palu.
Sopir berhenti, saat Karlan melambaikan tangan minta tumpangan. Sopir mempersilahkan Karlan dan Wati naik. Sopir juga ingin secepatnya sampai di Palu Utara, untuk mengetahui kondisi keluarganya.
Palu-Baiya yang berjarak 24 kilometer, biasanya ditempuh dalam waktu setengah jam hitungan normal. Malam itu, perjalanan laiknya keong. Mobil bergerak perlahan. Banyaknya orang dan kendaraan yang ingin menyelamatkan diri, membuat Jalan Soekarno-Hatta yang lengang malam hari, padat merayap.
Sampai di pertigaan jalan menuju terminal Mamboro, sopir mengambil jalur kanan. Sopir memilih jalur alternatif yang jarang dilewati orang, dengan harapan bisa lebih cepat. Selain itu, diperkirakan area sekitar pergudangan hingga terminal kena tsunami, karena posisinya dekat pantai. Kondisi jalan alternatif, tidak jauh beda. Jalan dipenuhi orang dan kendaraan. Sampai akhirnya, sekira pukul 23.40 Wita, Karlan sampai di rumahnya di Baiya.
Sampai di rumah, anak-anaknya tidak ada. Rumah rubuh sebagian. Hanya ruang tamu dan kamar tidurnya utuh. Kamar anak-anak dan dapur rusak berat.
Lagi-lagi istri Karlan, Wati panik. Dengan senter dari handphone, Karlan memeriksa rumah. Mengetahui tanda-tanda anak-anaknya tidak ada, Karlan keluar menuju lapangan Baiya, tidak jauh dari rumahnya. Ia memperkirakan, lapangan itu jadi pengungsian.
Dugaan Karlan benar. Lapangan penuh orang. Ia bertanya pada beberapa orang tetangganya, dimana anak-anaknya. Alhamdulillah, Karlan plong mendengar jawaban tetangganya. Saat gempa dan tsunami, anak-naknya di masjid. Setelah selamat, mereka mengungsi ke arah perbukitan.
Karlan dan Wati segera menuju perbukitan di timur tempat tinggalnya. Akhinya tepat jam setengah satu dini hari, Karlan dan Wati bertemu anak-anaknya di pengungsian di atas perbukitan. Malam itu, mereka menikmati malam tanpa tenda dan atap. Mereka tidur beralaskan tanah beratapkan langit.
Apapun kondisnya malam itu, Karlan dan Wati tetap bersyukur selamat dari tsunami, anak-anaknya selamat dari gempa. Genggaman tangan penuh cinta itu, menyatukan mereka dalam kondisi penuh maut ditengah terjangan ganas tsunami Teluk Palu. Tuhan masih menyayanginya. ***

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

Negeriku Makin Lucu