Postingan

Salah Jalan

Gambar
  Oleh: Temu Sutrisno   Saat malam tergelicir fajar Bunyi jangkrik mengetuk nalar Semribit angin menerjang pembaringan Aku bertarung melawan kantuk Memandikan mata agar kembali bersinar Dalam pergulatan gelap dan terang Samar terdengar Suara mendayu melantunkan firman Menghentak menyadarkan Tidakkah ingat Namrud? Raja yang mengudeta Tuhan Mati terhina karena serangga masuk lubang pernapasan Lupakah pada Firaun? Maharaja tiga benua Pasukan tak terhitung jumlahnya Mati tenggelam jadi tontonan Qarun manusia terkaya Sombong dengan hartanya Terhimpit tanah  Ringkih tak mampu membeli keselamatan Bayangkan wajah Haman Manusia cerdik Selalu merasa pintar Mengaku paling benar Memandang yang lain dungu tanpa wawasan Keangkuhannya membawa derita berkepanjangan Dia tergilas bersama sang majikan Tidakkah semua menjadi pelajaran Bagi orang-orang berakal? Dengarlah kisah kekufuran Kanaan putra kesayangan Sang Nabi  Pembuat bahtera nan besar Tergul

Meneladani Rasulullah Mengagungkan Martabat Manusia

Gambar
Suatu hari Rasulullah mendapati rombongan yang mengangkut jenazah lewat di hadapan beliau. Nabi pun berdiri menghormati. Sahabat beliau segera memberi tahu dengan nada seolah protes, “Itu jenazah orang Yahudi.” “Bukankah ia juga manusia?” sahut Rasulullah. Dialog singkat ini bisa dijumpai dalam hadits shahih Imam Bukhari. Sifat lain dari Rasulullah yang perlu diteladani dalam kehidupan sehari-hari yakni ramah tamah. Nabi dalam sebuah hadis berkata kepada istrinya, Aisyah RA: "Hai Aisyah, bertakwalah kepada Allah SWT, dan bersikaplah ramah. Sesungguhnya keramahan jika ditempatkan di manapun, ia akan menghiasinya, dan tidak dilepas dari mana pun kecuali ia akan menjadikannya buruk". (HR Muslim) Ada seorang pengemis buta di sudut pasar Madinah. Pengemis Yahudi tersebut merasa jijik dan muak bila mendengar orang menyebut nama Muhammad. Bahkan, ia menuduh Nabi Muhammad SAW sebagai tukang sihir dan pembohong besar. Pengemis itu sering berkata bahwa siapa pun mesti mewaspadai sosok

Demokrasi orang-orang mati

Gambar
  sumber: media indonesia     Oleh: Temu Sutrisno     Menceritakan segala kebaikan Menutup semua keburukan Itulah tradisi kematian Kabarkan kelebihan Abaikan kekurangan Itulah tradisi kematian Ajaran kemuliaan Mengakar budaya Menghiasi wajah bangsa Tapi kini Anak-anak negeri memanipulasi Mengglorifikasi diri sendiri Mencitrakan diri suci Menutup noktah Memoles daki Hanya untuk pertarungan demokrasi Beribu kata disusun Kalimat dirangkai menganak sungai Pengaruhi pemilih Dari urban hingga pedesaan Sembunyikan data diri Jangan tercium Jangan jadi duri Penghambat mahkota di ujung dahi   Menceritakan segala kebaikan Menutup semua keburukan Itulah tradisi kematian Citra palsu tanpa kejujuran menyeruak memengaruhi pilihan Itulah demokrasi kematian Demokrasi orang-orang mati. ***   Tana Kaili, 29 Juli 2024

Nol Koma

Gambar
  Oleh: Temu Sutrisno     Di sebuah taman Ku pandang bunga dan rerumputan Sejengkal Sedepa Kiri Kanan Depan Menoleh ke belakang Satu Dua Nama bunga Nama rerumputan Pepohonan Aku tahu Aku hapal Selebihnya asing tanpa pengetahuan Ukuran sejengkal Jangkauan sedepa Aku menyerah tak tahu apa-apa Bahkan manusia lalu lalang Tak semua aku mengenalnya Pengetahuanku Hanya setitik debu Kecil Teramat kecil Dari semesta yang tak terkira Ku terus berjalan Ku eja Ku baca dengan segala daya Bunga Rerumputan Batuan Bumi Langit Lautan Kupandang jauh ke depan Makin aku sadar Hanya sedikit Sangat sedikit yang aku mengerti Terngiang lantunan bait suci "Dan tidaklah kamu diberi ilmu melainkan hanya sedikit" Aku terjebak dalam ketidaktahuan Nol koma sekian Entah berapa banyak nol di belakang koma Nol Nol Nol Nol Nol Nol Sebelum berakhir pada angka Satu Ku sadar Nol w ujud ketiadaan Satu s umber kehidupan Dia yan

Mengudeta Malaikat

Gambar
Oleh: Temu Sutrisno     Nanar malaikat Memandang manusia yang merampas jubahnya Dia tak mengerti Kenapa manusia berebut mengambil perannya? Haruskan dia pensiun tak bekerja? Dalam gempita dunia Manusia menjadi pencatat amal dan dosa Saban hari Salah Benar Baik Buruk Boleh Tidak boleh Tercatat rapi Dalam ucapan Dalam penilaian Dalam pikiran Lembar demi lembar tersusun menggunung Menghujam ke relung bumi terdalam Jari pongah menunjuk ke depan Melempar beragam tuduhan Empat jari mengarah ke badan Memuja yang dinilai sejiwa Mencerca yang disangka durjana Tak sadar Di kanan kiri Rakib dan Atid terus menatapnya Karena mencatat kebaikan dan kesalahan amar Tuhan untuknya. ***   Tana Kaili, 12 Mei 2024

Imajinasi Etika

Gambar
Oleh: Temu Sutrisno Jika engkau mengaku menjunjung moral Engkau teriak paling beretika Belajarlah pada Sulaeman Penguasa bijak nan kaya Hentikan tentara melangkah Berikan kesempatan pada semut masuk sarangnya Tak seekor pun boleh terinjak menderita Jika engkau jual moral Engkau tunjuk yang lain tak beretika Pandanglah wajah Musa Dia yang punya segala daya Dia yang dapat bicara dengan Tuhannya Bicara lemah lembut pada sang raja Sang penyembah keangkuhan dirinya Jika engkau tuding orang lain memusuhi moral Orang lain membunuh etika Tidakkah engkau malu pada Al Mustafa Dia yang tidak pernah berdusta Dia yang dihina Dia yang dicerca Dia yang dilempari kotoran di tubuhnya Dia tetap santun menyuapi wanita tua yang memusuhinya Jika moral engkau batasi dalam imajinasimu Jika etika engkau ukur dalam ilusimu Bangunlah  Lihatlah Di luar sana Setiap manusia punya baju yang berbeda Menyukai warna yang berbeda Akankah engkau memaksakan semua Memakai pakaian yang sama Tidakkah engkau sadar Ukuranmu b

Rindu Purnama di Langit Jakarta

Gambar
Mega hitam di langit Jakarta Aku mengira awan bergelung pertanda hujan kan tiba Oh tidak Rupanya asap menyelimuti kota Saban hari Gemuruh cerobong pabrik Asap pembakaran kendaraan Bergumul berkelindan Memayungi angkasa Meracuni napas manusia Pepohonan Hujan Tak lagi mampu menahan duka cakrawala Garis sepadan kehidupan Pantai dan daratan yang kian memudar Berteriak menggelegar menggugah kesadaran  Menggugat kelalaian Masih ada tanggung jawab besar Masih ada utang untuk anak keturunan Untuk kehidupan di masa depan Aku berdiri gemetar Dengan mata nanar Ku lesakkan segala daya di ujung tangan Ku garuk bumi Pertiwi Ku tanam pohon walau sebiji Ku baca doa Ku rapal mantra Tumbuh Tumbuhlah Membesar Merindang Naungi bumi yang kesakitan Ku titipkan cerah awan padamu Agar langit kotaku Langit Jakarta kembali benderang Dipenuhi kerlip bintang Dalam pelukan purnama rembulan Aku rindu Purnama memenuhi kotaku Tanpa awan hitam Tanpa racun mematikan.* Ancol, Jakarta, 19/2/2024 Temu Sutrisno