Pengedar Narkoba, Hukuman Mati dan HAM

Sebulan terakhir masyarakat Indonesia disibukkan dengan perdebatan pro dan kontra hukuman mati bagi pengedar Narkoba. Perdebatan muncul, usai Presiden Jokowi menolak grasi yang diajukan beberapa terpidana mati, termasuk didalamnya pengedar Narkoba. Kini setelah enam orang terpidana kasus Narkoba dieksekusi mati, perdebatan pro-kontra hukuman mati dalam sistem hukum Indonesia makin menyeruak. Salahsatu alasan yang paling mengemuka dalam perdebatan tersebut, hukuman mati dalam persepektif hak asasi manusia (HAM). Bagi kalangan yang kontra, hukuman mati bertentangan dengan HAM. Hukuman mati berlawanan dengan UUD 1945 dan UU HAM. Hak hidup dijamin dalam Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Dasar hukum yang menjamin hak untuk hidup di Indonesia juga terdapat dalam Pasal 4 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 4 UU HAM menyatakan, hak untuk hidup; hak untuk tidak disiksa; hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani; hak beragama; hak untuk tidak diperbudak; hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum; dan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Jaminan hak hidup juga dinyatakan secara tegas dalam Pasal 9, yang berbunyi: (1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya, (2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin, (3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dalam Penjelasan Pasal 9 UU HAM dikatakan, bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa, yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati. Maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal dan atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dapat dibatasi. Dari penjelasan Pasal 9 UU HAM, diketahui bahwa dalam kondisi tertentu seperti pidana mati, hak untuk hidup dapat dibatasi. Pertanyaannya, apakah hukuman mati bagi pengedar Narkoba dibenarkan dan masuk dalam batasan keadaan yang sangat luar biasa, sebagaimana penjelasan Pasal 9 UU HAM? Merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pengujian Pasal 80 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang memuat sanksi pidana mati terhadap UUD 1945, MK dalam putusannya pada 30 Oktober 2007 menolak uji materi hukuman mati dalam UU Narkotika dan menyatakan bahwa hukuman mati dalam UU Narkotika tidak bertentangan dengan hak hidup yang dijamin UUD 1945, karena jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945 tidak menganut asas kemutlakan. Menurut MK, hak asasi dalam konstitusi dipakai dengan menghargai dan menghormati hak asasi orang lain, demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial. Dengan demikian, berdasarkan putusan MK, hak asasi manusia harus dibatasi dengan instrumen Undang-Undang, yakni Hak untuk hidup itu tidak boleh dikurangi, kecuali diputuskan oleh pengadilan. Alasan lain pertimbangan putusan MK salah satunya karena Indonesia telah terikat dengan konvensi internasional Narkotika dan psikotropika yang telah diratifikasi menjadi hukum nasional dalam UU Narkotika. Sehingga, menurut putusan MK, Indonesia berkewajiban menjaga dari ancaman jaringan peredaran gelap Narkotika skala internasional, yang salah satunya dengan menerapkan hukuman yang efektif dan maksimal. Indonesia telah mengakui kejahatan narkotika sebagai kejahatan luar biasa serius terhadap kemanusiaan (extra ordinary) sehingga penegakannya butuh perlakuan khusus, efektif dan maksimal. Salah satu perlakuan khusus itu, menurut MK, antara lain dengan cara menerapkan hukuman berat yakni pidana mati. Dengan menerapkan hukuman berat melalui pidana mati untuk kejahatan serius seperti Narkotika, MK berpendapat, Indonesia tidak melanggar perjanjian internasional apa pun, termasuk Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang menganjurkan penghapusan hukuman mati. Bahkan MK menegaskan, Pasal 6 ayat (2) ICCPR itu sendiri membolehkan masih diberlakukannya hukuman mati kepada negara peserta, khusus untuk kejahatan yang paling serius. Dalam pandangan MK, hukuman mati telah sejalan dengan Konvensi PBB 1960 tentang Narkotika dan Konvensi PBB 1988 tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, Pasal 3 Universal Declaration of Human Rights, dan UU HAM. Ancaman hukuman mati dalam UU Narkotika telah dirumuskan dengan hati-hati dan cermat, tidak diancamkan pada semua tindak pidana Narkotika yang dimuat dalam UU tersebut. Lebih lanjut, melihat pada UU HAM, MK memandang bahwa UU itu juga mengakui adanya pembatasan hak asasi seseorang dengan memberi pengakuan hak orang lain demi ketertiban umum. Dalam hal ini, MK menganggap hukuman mati merupakan bentuk pengayoman negara terhadap warga negara terutama hak-hak korban. Secara yuridis, hukuman mati menemukan sandarannya dan konstitusional dalam sistem hukum di Indonesia. Apatah lagi, setelah MK memutuskan hukuman mati tidak bertentangan dengan UUD 1945. Secara sosiologis, hukuman mati terhadap produsen dan pengedar Narkoba menurut hemat kami masih bisa dibenarkan, mengingat masa depan kehidupan bangsa. Hukuman mati ini apabila dilihat dari UU No.39 Tahun 1999, (sepertinya) suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia, karena telah merampas hak untuk hidup seseorang. Namun jika dilihat dari sudut kepentingan bangsa, seorang pengedar Narkoba telah merenggut berjuta-juta hak asasi manusia, khususnya generasi muda penerus generasi bangsa. Secara perlahan produsen dan pengedar Narkoba telah melakukan ‘Pembunuhan’ atau ‘merampas hak hidup’ para penggunanya secara sistematis dan terencana. Tidakkah merampas hak hidup orang lain yang dilakukan produsen dan pengedar Narkoba, bukan dari pelanggaran HAM? Ataukan pembunuhan terencana dan sistematis melalui Narkoba bukan kejahatan kemanusiaan serius yang layak diganjar hukuman maksimal? Hemat kami, Hak untuk hidup tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum dan undang-undang, sehingga tidak secara serta merta Hak untuk hidup dapat mengangkangi hak orang lain terutama dalam skala besar hak dari masyarakat. Perbuatan produsen atau pengedar Narkoba menurut penulis, berdampak sistemik, bertentangan dengan prinsip dasar keadilan sosial serta mengakibatkan terganggunya tatanan tertib sosial serta konstitusi negara. Inilah yang menurut penulis menjadi alasan dasar, keberadaan pidana mati bagi produsen atau pengedar Narkoba, tetap dipertahankan meskipun menuai pendapat pro dan kontra terhadap pelaksanaanya.*** Temu Sutrisno Penulis adalah Alumni Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palu. (www.harianmercusuar.com)

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM